Minggu, 21 Oktober 2007

BOS Rawan Penyelewengan

Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Selain memberikan musibah, kenaikan BBM membawa dampak positif bagi dunia pendidikan. Salah satu bentuk kompensaasi kenaikan BBM tahap pertama adalah BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Ini adalah inisiatif bagus dari pemerintah, walaupun kebijakan menaikkan harga BBM bukan solusi. Lalu sekarang permasalahan yang perlu kita lakukan adalah melakukan monitoring proses penyaluran BOS. Sebab selama ini, seringkali dana-dana yang dikucurkan pemerintah sering bocor. Jangan sampai dana yang diambilkan dari penderitaan rakyat (sebagai ekses dari kenaikan BBM) tersebut berhenti perut buncit pejabat yang korup.
Program BOS oleh pemerintah ditujukan untuk meningkatkan fasilitas pendidikan yang ada misalnya gedung sekolah dan beberapa sarana penunjang lainnya. Fasilitas pendidikan diakui atau tidak, adalah sarana penting untuk menujang kualitas pendidikan. Dengan sarana infrastruktur pendidikan yang baik, maka akan memberikan kemudahan dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman orang atas suatu bidang pembelajaran. Memang sangat riskan, jika menginginkan proses belajar-mengajar berjalan dengan baik namun tidak ditunjang oleh sarana infrastruktur yang baik pula.
Penyaluran BOS yang pengaturannya diserahkan pada masing-masing daerah diupayakan agar lebih mengena. Untuk mengawasi penyaluran BOS, mulai pendataan hingga penyalurannya telah disiapkan beberapa tim pengawas agar benar-benar mengena dan efisien. Sebelum disalurkan, kiranya setiap sekolah perlu menyerahkan setiap kebutuhan sarana dan prasarananya yang masuh kurang dan benar-benar perlu. Hal ini dimaksudkan agar nantinya dana BOS setelah diberikan tidak digunakan untuk kebutuhan yang sebenarnya kurang perlu. Sebab selama ini, kita sering menghamburkan uang negara untuk kebutuhan yang sebenarnya kurang penting. Sehingga terkesan (walaupun benar) kita adalah bangsa yang senang menghabiskan anggaran. Jika kebutuhan sebuah sekolahan akan sarana fisik seperti gedung telah terpenuhi, maka BOS bisa dialihkan untuk penambahan buku-buku bacaan di perpustakaan untuk peningkatan budaya membaca dan pengetahuan siswa.
Selama ini, pembangunan sering diartikan sebagai sebuah usaha pembuatan sarana fisik semata. Sehingga yang terjadi adalah pembangunan fisik berjalan baik, namun pembangunan mental dan cara berpikir masyarakat cenderung berjalan di tempat. Sehingga usaha memerdekakan masyarakat dari kebodohan selalu gagal. Buktinya, kita masih sering diperdayai oleh bangsa asing dalam banyak hal.
Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul Wawasan Politik menyebutkan bahwa seringkali kita lebih mengedepankan pembangunan sarana fisik dan melupakan pembangunan mental. Untuk itu, pembangunan sarana fisik yang selalu melupakan pembangunan mental dan cara pandang masyarakat sekiranya perlu kita evaluasi. Jika pemerintah sejak dulu jeli, maka kita tidak akan masuk dalam kategori negara miskin. Mental bangsa yang sangat feodalistik dan korup, jelas menghawatirkan dalam sebuah proses character building sebuah bangsa. Sehingga pemerintah baik pusat maupun daerah perlu memikirkan ulang usaha pembangunan sarana fisik yang selalu meninggalkan pembangunan SDM.
Partisipasi masyarakat
Perlu kita sadari, bahwa negara bukan hanya pemerintah saja. Namun rakyat juga adalah faktor terpenting dalam proses kelangsungan sebuah negara. Sebuah negara yang benar-benar negara adalah jika antara pemerintah dan rakyatnya saling bersinergi dalam usaha memikirkan dan memajukan negaranya. Namun sayangnya, di Indonesia partisipasi masyarakat sangat lemah dan kerelaan pemerintah mendengar ide rakyatnya juga kurang. Rakyat selalu hanya menuntut, sedangkan pemerintah seringkali juga tidak mau mendengar aspirasi masyarakat. Sehingga sinergisitas dalam sebuah negara kurang bisa berjalan dengan baik.
Partisipasi masyarakat yang baik dapat dicapai jika kesejahteraan masyarakat juga terpenuhi. Namun sayangnya yang terjadi adalah ketimpangan di masyararakat. Yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin miskin. Hal ini ditambah dengan kecenderungan hidup yang mengelompok. Hal ini bisa kita lihat dalam sebuah pola kehidupan kota. Para pengusaha dan pejabat tinggi pemerintahan tidak mau tinggal berbaur dengan orang miskin. Sehingga ada perumahan orang kaya dan pemukiman khusus untuk orang miskin. Sehingga kesan guyub diantara masyarakat kurang tampak.
Jika melihat fenomena tersebut, jelaslah sangat sulit untuk menumbukan rasa kesetiakawanan sosial di masyarakat yang akhirnya berdampak pada rasa kurang saling percaya dan partisipasi untuk saling mengisi tidak tercapai. Sehingga jika melihat pejabat negara, masyarakat cenderung sinis, sebab banyak yang korupsi.
Kesejahteraan masyarakat untuk mencapai partisipasi aktif masyarakat bisa berhasil jika pemerintah mampu dan mau untuk mensejahterakan rakyatnya. Kesejahteraan bisa dicapai, salah satu jalannya adalah melalui pendidikan. Sedangkan pendidikan itu sendiri diarahkan untuk mengubah pola pikir masyarakat yang bersifat pragmatis. Sebab selama ini masyarakat hanya berfikir untuk memenuhi kebutuhan sekarang saja. Yang perlu ditekankan adalah pembentuk pemikiran masyarakat dalam bertindak juga memikirkan dampaknya untuk sekarang besok dan yang akan datang.
Agar penyaluran BOS lepas dari bayang-bayang korupsi dan penyelewengan, maka pemerintah perlu sekali-kali memberikan hukuman yang berat (hukuman mati) bagi pejabat yang korup untuk mencegah terjadinya korupsi. Sehingga Character building bangsa melalui pendidikan bisa berjalan dengan baik.
Surabaya, 18 Agustus 2005
Dimuat Jawa Pos tanggal 19 Agustus 2005

Punya Uang Bisa Masuk PTN

Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Sejak beberapa tahun terakhir, telah banyak protes menentang pembukaan jalur khusus penerimaan mahasiswa baru di PTN, namun ternyata hal tersebut seakan sia-sia saja. Wacana menentang pembukaan jalur khusus terasa hambar ditelinga. Kapitalisasi pendidikan tetap terjadi. Sebab pihak PTN bersikeras dengan keputusannya membuka jalur khusus, sementara pemerintah melalui Dirjen Dikti tak mampu berbuat banyak dengan fenomena yang sedang terjadi.

Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk merasakan kuliah di PTN. Dengan biaya murah dan kualitas pendidikan yang dianggap lebih baik menjadi sangat menggiurkan setiap orang untuk ikut merasakannya. Namun untuk bisa ikut merasakan kuliah di PTN di masa lalu sangat sulit untuk diwujudkan. Sebab kita harus berdesak-desakan untuk bisa lolos dari seleksi yang dilaksanakan secara nasional. Namun hal tersebut menjadikan persaingan terasa lebih fair, sehingga yang bisa lolos masuk PTN adalah mereka yang memiliki nilai tinggi dalam SPMB. Namun kini SPMB menjadi kurang menarik bagi mereka yang memiliki cukup kekayaan untuk bisa memasuki PTN. Sebab sejumlah PTN telah membuka jalur khusus untuk calon mahasiswa yang jauh lebih mudah untuk bisa lolos, namun dengan syarat bersedia membayar dengan sejumlah uang yang tentu saja sangat berbeda jauh dengan jumlah yang harus dibayar calon mahasiswa yang menempuh jalur SPMB.

Kebijakan sejumlah PTN BHMN (UI, UGM, IPB, ITB) dan beberapa PTN lainnya yang membuka jalur khusus yang mematok harga sangat mahal, mamicu banyak protes dari banyak kalangan khususnya mahasiswa. Mereka menganggap langkah yang diambil sejumlah PTN tersebut akan menurunkan kualitas lulusan perguruan tinggi itu sendiri. Sebab siapa saja bisa masuk asal mampu membayar sejumlah uang yang telah disyaratkan. Tentu saja ini akan mengurangi jatah untuk calon mahasiswa yang menempuh melalui jalur SPMB. Lebih parah lagi, mereka yang dari keluarga miskin semakin kecil kesempatannya untuk bisa kuliah di PTN. Namun protes tersebut sia-sia belaka.
Kapitalisasi pendidikan
Arus kapitalisme global telah menggurita di semua bidang termasuk ranah pendidikan. Dampaknya untuk bidang pendidikan salah satunya adalah munculnya privatisasi pendidikan dengan bentuk PTN BHMN. Hal ini mengakibatkan semakin mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi negeri. Citra PTN lebih murah daripada perguruan tinggi swasta di “era bisnis” sekarang ini makin pudar. (Jawa Pos, 14 Agustus 2004). Mansour Fakih berpendapat bahwa salah satu paham neoliberalisme adalah mengurangi pemborosan dengan memangkas semua anggaran negara yang tidak produktif seperti subsidi pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial.

Dengan semakin sempitnya kesempatan untuk lolos SPMB, orang lebih tertarik untuk menempuh jalur khusus. Sebab kesempatan untuk masuk lebih besar. Orang akan berfikir jika ada jalan yang lebih mudah dan cepat, mengapa memilih jalur yang lebih sulit. Namun sayangnya itu hanya mampu dinikmati kalangan tertentu saja. Di Unair, mahasiswa dari jalur khusus dalam dua tahun terakhir harus membayar munimal 10 juta untuk bidang ilmu-ilmu sosial, sementara untuk kedokteran minimal harus mengeluarkan biaya sebesar 75 juta untuk bisa kuliah di Unair. Sementara di UI tahun lalu menetapkan biaya pangkal yang harus dibayar mahasiswa baru berkisar antara lima juta sampai 25 juta. Di PTN lainnya yang membuka jalur khusus pasti juga tidak jauh berbeda. Jumlah sebesar itu, jelas sangat sulit untuk bisa dijangkau oleh rakyat miskin. Jika ini terus menerus dilakukan, PTN hanya akan menjadi milik orang kaya saja. Keadilan pendidikan perlu kita pertanyakan.

Semenjak dibukanya jalur khusus masuk PTN, semakin membuat kondisi perkuliahan tidak kondusif. Sebab pertambahan jumlah mahasiswa tidak diimbangi dengan jumlah pengajarnya. Sehingga dalam setiap perkuliahan seringkali terjadi kelas besar yang jelas-jelas sangat tidak efektif. Mahasiswa ketika kuliah menjadi lebih gaduh karena jumlah persetra kuliah yang overloud. Hal ini jelas akan sangat berpengaruh dengan kualitas out put atau lulusannya. Mahasiswa baru lebih senang nongkrong daripada berdiskusi.

Anggaran pendidikan
Ketidakmampuan Pemerintah memenuhi anggaran 20 persen untuk pendidikan dari dana APBN juga menjadi salah satu faktor mahalnya biaya pendidikan. Padahal jika kita nalar, kemajuan sebuah negara dimasa datang ditentukan dengan pendidikan yang sekarang ini dijalankan. Pendidikan merupakan salah satu investasi jangka panjang suatu negara. Selain itu, kekayaan alam Indonesia sebenarnya sudah sangat lebih jika hanya untuk membiayai pendidikan. Namun sayangnya kekayaan negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat (pendidikan salah satunya), hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Jika pemerintah ingin meningkatkan mutu sumber daya manusianya, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan bidang pendidikannya. Sebab dengan semakin kompetitifnya persaingan global saat ini, menuntut kita untuk selalu membenahi kualitas pendidikan kita. Pemerintah harus mampu menunjukkan itikat baiknya dalam memberikan kompensasi pendidikan untuk kaum miskin.


Dimuat Jawa Pos Senin, 14 Maret 2005

Wajah Bangsa GILA Gelar

gambar diambil dari www.yusofghani.com
Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Tangisan dunia pendidikan kita seolah semakin keras saja dengan munculnya kasus gelar palsu yang diterbitkan lembaga pendidikan fiktif. Apalagi seperti diberitakan oleh banyak media termasuk Jawa Pos (20-21/08/05), yang mengunakan gelar palsu tersebut adalah para pejabat tinggi negara. Ketika beberapa permasalahan belum usai terselesaikan, kini semakin tercambuk lagi dengan munculnya pencorengan wajah pendidikan yang sangat memalukan. Walaupun isu ini tak jauh beda dengan masalah ijazah palsu yang sempat mencuat sebelum pemilu legislatif 2004 kemarin.

Bangsa yang gila gelar
Ketika kita menengok lebih jauh ke belakang, fenomena gila gelar ini tidak terlepas dari budaya kerajaan di Indonesia. Orang Jawa akan dihormati jika mereka memiliki gelar yang diberikan dari kerajaan. Misalnya orang akan dihormati di dalam kehidupan sosial masyarakat, jika dia menyandang gelar-gelar akan membuatnya disegani di masyarakat. Bahkan seorang raja sendiri yang sudah dipatuhi perintahnya merasa perlu menaikkan gelarnya untuk melegitimasi kekuasaannya. Dalam masa modernitas sekarang inipun, ketika orang ramai memburu gelar dengan berbagai cara juga tak lepas dari keinginan untuk menaikkan prestise diri di hadapan masyarakat.

Orang akan bangga jika memiliki gelar sarjana, doktor bahkan profesor untuk menaikkan posisi tawarnya. Namun dengan sumber finansial yang dimiliki yang tidak diimbangi dengan kemampuan intelektual, maka banyak yang berusaha memotong jalur untuk memudahkan dirinya mendapatkan gelar kesarjanaan atau gelar lainnya dibidang akademik. Hal inilah yang direspons oleh sebagian orang untuk memperdagangkan gelar kesarjanaan. Dengan tanpa kuliah, ujian skripsi, ujian tesis dan disertasi, orang bisa mendapatkan gelar yang diinginkannya. Ini adalah penipuan besar. Padahal jika kita telaah lagi, tidak akan berguna gelar tersebut jika tidak diimbangi dengan kemampuan intelektual dan skill.

Permasalahan yang perlu kita kaji dalam hal ini adalah pertama, watak manusia Indonesia yang masih belum menunjukkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan tanggung jawab. Kedua, yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki. Penggunaan gelar palsu yang dilakukan oleh para pejabat negara adalah sebuah cerminan rendahnya kejujuran dan tanggung jawab. Bisa dibilang, penyelenggaraan negara ini hanya aksi tipu-tipu para pejabat saja. Namun hal ini tidak bisa kita asumsikan bahwa semua pejabat menggunakan gelar palsu, namun penggunaan gelar palsu oleh beberapa pejabat tinggi cukup untuk memberikan image buruk kepada pejabat mengenai sikap kejujuran dan tanggung jawab. Hal itu diperparah lagi dengan skill yang dimiliki sangat rendah. Sehingga orang akan tertawa terpingkal-pingkal jika mengetahui seseorang yang memiliki gelar cukup mentereng namun tidak memiliki kemampuan apa-apa. Seorang bergelar doktor namun kemampuannya tidak lebih baik dari seorang yang bergelar sarjana S1. perlu dicatat lagi, bahwa banyak sarjana kita yang lulusan perguruan tinggi dengan nilai tinggi tak mampu mendapatkan kerja yang layak. Hal tersebut disebabkan karena kemampuan akademis yang tidak diimbangi dengan skill yang mumpuni. Sungguh sangat disayangkan, ketika sudah bersusah payah kuliah selama empat tahun untuk mendapatkan gelar, namun sia-sia saja gelar tersebut. Ini menunjukan bukan gelar yang kita butuhkan, namun intelektuan dan skill yang kita perlukan.

Pernah suatu kali pada pemilu 1999, saya menjumpai seorang yang belum lulus kuliah, namun sudah berani menambahkan gelar sarjana dibelakang namanya dengan tujuan memikat masyarakat untuk memilih dirinya dalam pemilu. Hal ini semakin menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang gila akan gelar.

Esensi pendidikan
Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika kita semua memahami esensi dari pendidikan itu sendiri yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membebaskan diri dari segala bentuk kebodohan. Bukan sekedar selembar ijazah atau hanya menterengnya embel-embel gelar kesarjanaan. Orang tidak butuh gelar untuk menegaskan kemampuan intelektualnya. Namun dengan karya yang mampu dihasilkannya, kemampuannya akan bisa diakui oleh semua orang. Bahkan orang tidak akan merasa perlu sekolah formal jika dia telah merasa mampu membebaskan dirinya dari kebodohan. Dengan menyandang gelar tinggi namun tidak mampu melakukan apa-apa, malah akan menjadi bahan gunjingan dan tertawaan orang, apalagi yang disandang adalah gelar palsu.

Dalam konsepsi Paulo Freire, ketika orang memposisikan dirinya dalam kerangka pikir idealis yang memisahkan antara kesadaran dan kenyatan, maka kesadaran harus didudukan pada kenyataan, walaupun sebenarnya kenyatan dicercap oleh kesadaran. Transformasi kenyataan dilakukan dengan transformasi kesadaran. Jadi hal yang perlu kita tata dalam permasalahan ini ataupun permasalahan lainnya adalah kesadaran kita. Orang harus berfikir secara sadar, jika dia ingin gelar, maka dia harus menempuh pendidikan. Namun secara sadar lagi, orang menempuh pendidikan bukan sekedar untuk mendapatkan gelar, namun untuk mendapatkan ilmu untuk diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat dan demi kesejahteraan masyarakat. Jadi bukan gelar yang perlu kita tunjukkan kepada masyarakat, namun sesuatu pemikiran dan tindakan yang lebih berguna bagi kesejahteraan masyarakat kita.

Sekolah Favorit vs Sekolah Pinggiran


Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Secara filosofis, tujuan pendidikan adalah sebagai upaya pembebasan manusia dari segala penindasan. Penindasan itu dapat berupa kebodohan maupun dari pihak yang memanfaatkan kebodohan seseorang. Negara manapun selalu berupaya menyelenggarakan pendidikan yang terbaik. Akan tetapi dengan adanya segala keterbatasan yang dimilikinya, kekurangan dan kelemahan tetap tidak bisa dihindari. Kelemahan tersebut bisa dari segi sumber daya meterial yang berupa sarana dan prasarana penunjang pendidikan maupun sumberdaya non material yang berupa tenaga pendidik dan anak didik itu sendiri.



Di sisi lain, tujuan pendidikan juga untuk memanusiakan manusia (humanizing). Ini sesuai dengan apa yang diwacanakan oleh Paulo Freire, pendidikan adalah sebuah proses untuk transformasi dan memperoleh pengetahuan (act of knowing) melalui tindakan nyatanya dalam merubah dunia. Ini jelas beda dengan tujuan hidup binatang yang tujuan hidupnya hanya untuk beradaptasi dengan alam, maka tujuan hidup manusia adalah memanusiakan (humanizing) dunia melalui proses transformasi.
****

Setiap tahun ketika dimulainya tahun ajaran baru, orang tua beramai-ramai berusaha untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah unggulan mulai sekolah dasar hingga menengah. Siswa-siswa SD-SMU yang berprestasi dengan nilai kelulusan tinggi pasti ingin melanjutkan ke sekolah jenjang selanjutnya yang berkualitas. Hal ini tidak hanya berlaku pada siswa yang meraih nilai baik, tapi yang mendapatkan nilai pas-pasan pun memiliki keinginan yang sama.

Selanjutnya perguruan tinggi negeri (PTN) yang telah memiliki nama besar juga menjadi incaran calon-calon mahasiswa. Ini sangat wajar, sebab sekolah unggulan dianggap memiliki kelebihan dari pada sekolah-sekolah lainnya (pinggiran). Dengan tenaga pengajar yang berkualitas serta sarana penunjang pendidikan yang cukup lengkap, menjadi daya tarik tersendiri yang nantinya diharapkan mampu menjadikan siswa dapat mengembangkan potensi pendidikannya dengan baik.

Kecuali tingkat perguruan tinggi, sekolah-sekolah unggulan yang ada di Indonesia mulai dasar hingga menengah ternyata memunculkan suatu dilema tersendiri bagi sekolah-sekolah lainnya. Sekolah-sekolah unggulan tentu saja, hampir keseluruhan siswanya adalah mereka yang memiliki kualitas diatas sekolah-sekolah yang lain. Sebab ada seorang calon siswa yang bisa masuk ke sekolah unggulan harus mampu memenuhi syarat standart penilaian akademik yang telah ditatapkan pihak sekolahan. Ini sebenarnya sangat bagus untuk memacu prestasi akademik setiap siswa agar belajar keras agar nantinya mampu memasuki sekolah-sekolah unggulan yang diinginkan.

Sekolah bukan unggulan atau katakanlah sekolah pinggiran bukannya tidak memiliki pelajar yang berkualitas, akan tetapi kualitasnya sangat jauh dengan yang ada di sekolah-sekolah unggulan. Begitu juga tenaga pendidik serta sarana dan prasarana yang dimiliki. Inilah yang memunculkan image di masyarakat, sekolah pinggiran adalah sekolah tertinggal. Dalam hemat saya, sekolah pinggiran yang notabene dikatakan sebagai sekolah tertinggal tersebut harus mendapatkan perhatian yang lebih atau minimal sama dengan sekolah unggulan dari pemerintah. Sebab jika tidak, sekolah pinggiran akan selalu tertinggal.

Berdasarkan pengalaman, ada kecenderungan ketika sekolah pinggiran memiliki beberapa tenaga pendidik yang cukup berkualitas akan menjadi rebutan sekolah-sekolah unggulan. Selain itu, sekolah unggulan terkadang arogan meminta tenaga pendidik yang dianggap berkualitas tadi dari sekolah pinggiran. Sementara sekolah pinggiran sendiri juga tidak ingin kehilangan beberapa tenaga pendidiknya yang dianggap lebih daripada yang lainnya. Namun tetap saja perebutan tersebut seringkali dimenangkan oleh sekolah unggulan yang kadang mampu memberikan sesuatu yang lebih kepada guru tersebut. Jika ini terjadi terus menerus, maka sekolah pinggiran akan tetap selalu tertinggal karena tenaga pendidiknya yang juga selalu pinggiran. Ini tidak saja terjadi untuk guru saja, kepala sekolah juga malah sering terjadi.

Jika pemerintah mau memperhatikan kondisi yang dialami sekolah-sekolah pinggiran, pemerataan kualitas pendidikan bisa tercapai. Secara ideal, hal ini akan berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat juga. Selain itu, melimpahnya sumber daya manusia yang berkualitas karena pemerataan kualitas pendidikan yang ada. Maka potensi sumber daya alam yang ada di Indonesia bisa diolah dan dimanfaatkan oleh manusia Indonesia sendiri. Dengan jumlah penduduk 200 juta lebih dan pemerataan pendidikan maka kita tidak perlu lagi mendatangkan tenaga dari luar. Seperti kita ketahui, tenaga dari luar negeri sangat mahal sekali. Sementara tenaga Indonesia hanya menjadi pekerja bawahan dari tenaga asing. Ini sangat ironis sekali. Kita menjadi kuli di negeri sendiri. Seharusnya SDA yang ada kita olah sendiri dan kita manfaatkan sendiri. Sehingga kemakmuran rakyat bisa tercapai.

Dengan adanya sekolah unggulan yang bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat, maka akan menghasilkan produk pendidikan berkualitas diseluruh lapisan masyarakat. Seperti kata Freire lagi yaitu sistem pendidikan dapat diandaikan sebagai sebuah bank, dimana siswa di beri ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat menghasilkan yang berlipat ganda. Dengan kualitas pendidikan yang merata, maka kualitas masyarakat juga akan meningkat. Sehingga pertumbuhan perekonomian masyarakat juga akan bisa tercapai.


Media dan Eksploitasi Perempuan

Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Merebaknya gerakan gender di Indonesia akhir-akhir mulai menampakkan hasilnya. Terbukti semakin banyak perempuan yang mampu menduduki berbagai posisi strategis untuk mengambil kebijakan di berbagai ranah pekerjaan. Perempuan telah berani ikut bertarung dalam perebutan kekuasaan dalam bidang perpolitikan negara. Namun hal itu seakan hambar begitu saja, sebab ada kekontrasan dengan apa yang digambarkan di berbagai iklan yang ditayangkan di media baik cetak maupun erlektronik. Dominasi perempuan yang dulu dilakukan dengan kekerasan, kini berganti rupa menjadi sebuah hegemoni terhadap perempuan yang berupa eksploitasi keindahan tubuh perempuan.
Peranan perempuan dalam media sekarang ini telah merambah berbagai posisi yang selama in biasa ditempati laki-laki. Produser, sutradara, dan beberapa posisi penting alinnya yang dulu sering menjadi tempat wajib bagi laki-laki kini bukan lagi milik mutlak dari laki-laki. Dalam dunia periklanan, perempuan masih sebatas objek eksploitasi. Perempuan dalam dunia periklanan masih hanya sebatas pemuas. Bahkan sutradara-sutradara iklan perempuan pun ternyata masih memelihara strereotipe tersebut untuk memuaskan konsumen. Jika kita menilik berbagai iklan yang beredar baik di media televisi maupun media cetak, masih menonjolkan keindahan tubuh perempuan. Perempuan yang cantik dan sempurna digambarkan dengan berkulit putih, berambut lurus, rajin merawat tubuh, langsing dan tidak gaptek (gagap teknologi). Ini banyak terjadi dalam iklan-iklan shampo, sabun mandi, kosmetik, dan pembalut wanita. Kita sering melihat iklan kosmetik pemutih kulit. Perempuan yang sebelumnya memiliki kulit putih setelah menggunakan kosmetik tersebut akan tampak putih dan cantik hanya dalam beberapaa hari saja.
Sedangkan untuk iklan obat-obat penguat untuk laki-laki malah lebih eksploitatif lagi. Dalam iklan-iklan tersebut, wanita harus siap melayani laki-laki dan selalu berpenampilan seksi agar bisa memuaskan pasangannya. Tentu saja ini seakan meluluhkan perjuangan gender yang di gelorakan banyak aktivis perempuan selama ini. Ketika mereka siap melakukan upaya pemberontakan tradisi yang patriarkis ternyata dalam sekejap saja citra perempuan yang patriarkis masih selalu dipelihara media.
Kecenderungan selama ini, iklan menempatkan perempuan sebagai model. Memang ini menjadikan iklan sebagai lahan yang subur untuk perempuan. Model iklan ditujukan untuyk memberikan rasa keindahan untuk penonton. Maka dipilihlah sosok perempuan yang tampak sangat sempurna seperti yang telah digambarkan. Kecenderungan seperti ini tidak hanya terjadi di negara kita saja, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat pun masih melakukan hal-hal semacam ini. Perempuan menjadi objek pemuas penonton dalam periklanan.
Perilaku eksploitasi perempuan tidak hanya dilakukan dengan menyuguhkannya dalam iklan. Dalam dunia sinetron dan lawakan pun, perempuan juga sebagai objek ekploitasi. Dalam sinetron, biasanya diperankan perempuan-perempuan cantik dengan berbagai peran. Memang kecenderungan yang ada, penikmat sinetron adalaah perempuan. Gambaran dalam sinetron yang sering kita lihat selama ini adalah seorang remaja perempuan yang hidup sengsara karena kekejaman dari ibu tiri yang sangat tergila-gila dengan harta. Sinetron walaupun sebuah cerita fiktif, namun hal tersebut tetap menggambarkan suatu bentuk kehidupan yang terjadi disekitar kita. Penggambaran profil perempuan yang buruk misalnya perempuan penggoda, remaja perempuan yang menjadi PSK karena broken home, istri yang gila harta, dan mertua yang jahat semakin memberikan citra buruk kepada perempuan di masyarakat. Sedangkan dalam dunia lawak, bintang tamu perempuan cantik biasanya hanya sebagai alat penarik penonton. Perempuan tidak lebih sebagai alan pelengkap dalam media hiburan.
Dalam tayangan musik rakyat seperti dangdut, eksploitasi perempuan dengan berbagai gerakan yang erotis semakin menguatkan budaya yang eksploitatif terhadap perempuan. Tidak heran jika beberapa waktu yang lalu mengundang protes dari masyarakat terhadap media yang bersangkutan. Sehingga menggugah kepedulian pemerintah (Presiden SBY) yang menghimbau agar tayangan musik dangdut, tidak menampilkan pusar perempuan dan goyangan yang erotis. Media massa kebanyakan masih profit oriented, dan yang mendominasi media pada umumnya adalah pemilik, penulis, reporter,editor, dsb, yang semua itu masih didominasi oleh laki-laki.
Citra perempuan (image of women) di media massa (dalam film, iklan) masih memperlihatkan stereotipe yang buruk dan merugikan perempuan. Perempuan masuh digambarkan pasif dan hanya sebagai pemuas saja. Maka citra seperti ini harus dirubah juga oleh media. Ini bisa dilakukan dengan mensosialisasikan masalah kesetaraan gender kepada masyarakat luas yang masih kurang sadar akan kesetaraan gender. Dengan menambah porsi isu perempuan, media memberikan pendidikan kepada masyarakat. Dengan demikian, maka media akan berperan dalam mengasah kepekaan gender di masyarakat.
Dengan mensosialisasikan isu-isu gender kepada masyarakat akan turut membantu upaya demokratisasi dan meningkatkan kampanye secara luas dengan menggunakan program-program pendidikan umum dan swasta untuk memperluasn informasi dan meningkatkan kesadaraan hak-hak perempuan melalui media massa. Kesadaran akan gender akan membantu perempuan keluar dari penindasan yang sekarang ini berupa eksploitasi tubuh di media

Meluruskan Pandangan tentang ‘Wong Samin’


Oleh : Muhammad Imam Subkhi

Ketika kita mendengar istilah ‘samin’ akan tertuju pada sekelompok orang yang memiliki tingkah laku yang nyeleneh dan berkonotasi negatif, terasing dengan segala keterbatasan. Orang menganggap orang samin sebagai orang yang tidak taat aturan. Selain itu, orang menjadi salah kaprah dalam melakukan penilaian dan mendefinisikan tentang kata samin itu sendiri. Seringkali samin disebut sebagai suku atau aliran kebatinan. Namun sebenarnya itu kurang tepat dengan realitas yang ada. Ini tidak lepas dari kesejarahan aliran ini sendiri yang sering disebut dengan ‘saminisme’.

Saminisme adalah sebuah gerakan yang dibawa oleh Raden Kohar yang mengubah namanya menjadi Samin Suro Sentiko. Raden Kohar dilahirkan di daerah Blora, Jawa Tengah pada 1859. Sekitar tahun 1890 Samin Suro Sentiko mulai menyebarkan ajarannya kepada masyarakat di daerah Klopoduwur Blora. Ajarannya ini menarik minat dari masyarakat disekitarnya. Bahkan ajaran saminisme selain berkembang di sekitar Blora sendiri juga berkembang hingga ke daerah Bojonegoro, Pati, Kudus, Rembang, Grobogan, Brebes, Tuban, Ngawi, Lamongan. Namun yang paling pesat mengalami perkembangan adalah di daerah Blora, Bojonegoro, dan Pati.

Saminisme pada waktu itu dapat berkembang dengan pesat karena mengajarkan kesetaraan, kesederhanaan, kebajikan serta selalu mengingat Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari, orang samin memegang tiga ajaran yang bersifat lisan. Ajaran-ajaran tersebut adalah; Pertama, Angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk) berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong”. Orang dilarang untuk berbuat jahat, perang mulut, iri, mencuri. Jika kita nalar, ajaran ini memiliki kesamaan dengan semua ajaran agama yang mengajarkan pemeluknya untuk melakukan segala tindak kebaikan. Memang ini tidak lepas dari tradisi Islam di Jawa sendiri yang sudah melekat pada kultur masyarakat.

Kedua, Angger-angger pengucap (hukum bicara) berbunyi “Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga budhelane ana pitu” Dalam berbicara, orang harus meletakkan pembicaraannya di antara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka ini mungkin hanyalah simbolik belaka. Namun pada dasarnya, setiap orang harus menjaga omongannya dari kata-kata kotor dan menyakiti hati orang lain. Orang harus berbicara dengan baik kepada orang lain.

Ketiga, “angger-angger lakonana” (hukum tentang apa yang harus dikerjakan) berbunyi “ Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni” Orang harus selalu bersabar serta tidak sombong.

Dari ketiga ajaran terrsebut, jika kita bandingkan dengan ajaran agama dan ajaran hidup sehari-hari kita sebenarnya adalah sama. Namun yang dipertanyakan adalah mengapa penilaian orang tentang orang samin selalu berkonotasi negatif. Sehingga orang-orang samin di Pati menyebut dirinya dengan sebutan ‘wong sikep’ yang berarti orang yang memegang teguh ajaran saminisme, sebab kata samin di mata masyarakat berkonotasi buruk. Memang ajaran Samin sebenarnya ditujukan untuk melakukan penentangan terhadap pemerintahan Hindia Belanda.

Dalam Serat Punjer Kawitan yang ditulis Samin Surosentiko, menegaskan bahwa tanah Jawa bukan milik Hindia Belanda, bukan milik penguasa, akan tetapi milik keturunan Pandhawa yaitu keturunan Majapahit. Atau secara luas, tanah Jawa adalah milik Orang Jawa. Maka ketika pemerintahan Hindia Belanda menarik pajak dari warga, Samin Surosentiko menganjurkan untuk menolak pajak tersebut. Sebab kita hidup di tanah warisan leluhur kita sendiri, sehingga pemerintah Hindia Belanda serta para pejabat-pejabat pada tidak berhak menarik pajak dari masyarakat. Selain itu, gerakan saminisme juga sebagai gerakan penolakan terhadap pemerintah yang membatasi masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan.

Gerakan perlawanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh wong samin memang seperti saya katakan nyeleneh, namun pada dasarnya lebih humanis karena tanpa kekerasan. Ini bukan berarti perjuangan melawan penjajah dengan senjata adalah hal yang buruk. Maka ketika ketika para pamong akan menarik pajak, pengikut Samin disarankan untuk berperilaku aneh (nggendeng, nyamin) menyerupai orang gila. Bahkan ketika berhadapan dengan para pamong atau pejabat pemerintahan disarankan tidak perlu hormat. Dengan cara yang aneh tetapi tidak dengan kekerasan inilah yang membuat ajaran ini bisa berkembang. Sebab dengan berperilaku nyamin tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengalami kewalahan dalam memperlakukan pengikut Samin Surosentiko. Lalu untuk menghentikannya, pemerintah Hindia Belanda menangkap Samin Surosentiko beserta beberapa pengikutnya di sekitar Randu Blatung Blora kemudian diasingkan keluar Jawa. Namun gerakan ini tidak begitu saja berhenti, sebab pengikut ajaran ini telah lebih dulu berkembang di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan bertahan sampai perginya Belanda dari Indonesia.

Perilaku aneh seperti orang gila inilah yang membuat image orang samin sampai saat ini masih membekas dalam ingatan masyarakat, sehingga anggapan yang berkembang adalah ‘orang samin adalah orang nyeleneh’. Orang tidak melihat sisi lain dari apa yang telah dilakukan gerakan saminisme. Sebagai sebuah gerakan penentangan pemerintahan kolonial, seharusnya gerakan ini mampu meninggalkan sebuah kesan positif di masyarakat. Namun keadaan yang terjadi adalah sebuah perilaku yang kurang adil terhadap masyarakat samin sendiri. Sehingga perlu ada upaya pelurusan pandangan masyarakat mengenai wong samin.

Saminisme dan New Social Movement

Sejarah perjuangan melawan kolonialisme Belanda dengan senjata telah banyak memakan korban nyawa. Sehingga ketika perlawanan yang dilakukan ternyata selalu mengalami kegagalan, maka diperlukan upaya lain dalam melakukan perlawanan. Samin Surosentiko mencoba perlawanan tanpa kekerasan yang dituangkan dalam bentuk ajaran samin dengan cara berperilaku nyeleneh. Ini bukan sebuah hal yang salah. Ketika upaya perlawanan senjata yang selama ini mengalami kegagalan akhirnya memaksa orang menerapkan cara yang lain. Sementara di tempat yang lain, gerakan perlawanan terhadap poemerintahan kolonial pada masa pergerakan nasional ditandai dengan munculnya berbagai organisasi-organisasi yang bergerak di bidang politik. Kedua gerakan ini sama-sama tanpa kekerasan.

Jika kita tilik lebih jauh, gerakan saminisme bisa kita kategorikan sebagai new social movement. Jean Cohen (1985) merumuskan tujuan gerakan sosial baru adalah untuk menata kembali relasi negara, masyarakat, dan perekonomian dan untuk menciptakan ruang publik di dalamnya wacana demokrasi ihwal otonomi dan kebebasan individual dan kolektivitas dan orientasi mereka, dapat didiskusikan dan diperiksa selalu. Gerakan saminisme tentang yang dilakukannya mungkin bukan sejauh apa yang dimaksudkan oleh Cohen.

Namun salah satu batasan ciri gerakan sosial baru Cohen adalah aktornya menerima keberadaan formal negara, tidak berlaku bagi gerakan saminisme. Sebab sikap pengikut saminisme berpendapat mereka hidup di tanah warisan leluhur, sedangkan pemerinbah Hindia Belanda tidak berhak mengatur kehidupan mereka yang dituangkan dengan penolakan membayar pajak, dan tidak hormat terhadap pejabat pemerintahan.

Sebagai gerakan yang berkembang cukup pesat, saminisme adalah juga sebagi upaya penentangan terhadap perampasan tanah yang akan digunakan untuk perluasan hutan jati. Tanah di sini bisa kita katakan sebagai sebuah identitas yang perlu dipertahankan. Ini seperti gerakan penolakan yang dilakukan oleh Chiko Mendez dan masyarakat di sekitar hutan Amazon terhadap eksploitasi dan pembakaran hutan oleh pihak pemilik modal di Brazil tahun 1980-an yang telah difilmkan dengan judul The Burning Season. Chiko Mendez dan masyarakat sekitar hutan melakukan penolakan penebangan hutan dengan cara berdiri berjejer di tengah jalan yang akan dilewati oleh penebang hutan. Sama dengan tanah milik masyarakat samin, hutan bagi penduduk hutan Amazon adalah sebagai identitas dan penghidupan bagi masyarakat. Maka ketika ada pihak yang berusaha merebut atau merusak identitas dan sumber kehidupan tersebut perlu dilawan.

Gerakan perlawanan masyarakat samin terhadap pemerintah kolonial memang bisa dikatakan berbarengan dengan gerakan nasional yang dipelopori Budi Utomo. Namun gerakan Budi Utomo lebih menasional serta terorganisir dengan baik karena dimotori oleh kalangan intelektual yang cukup modern di jamannya. Sehingga sangat wajar ketika orang lebih melihat gerakan Budi Utomo dan mengesampingkan gerakan perlawanan yang dilakukan masyarakat samin yang cenderung primitif dan nyeleneh. Namun itu bukan menjadi sebuah alasan untuk mengatakan samin itu buruk dan nyeleneh.