Minggu, 21 Oktober 2007

Media dan Eksploitasi Perempuan

Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Merebaknya gerakan gender di Indonesia akhir-akhir mulai menampakkan hasilnya. Terbukti semakin banyak perempuan yang mampu menduduki berbagai posisi strategis untuk mengambil kebijakan di berbagai ranah pekerjaan. Perempuan telah berani ikut bertarung dalam perebutan kekuasaan dalam bidang perpolitikan negara. Namun hal itu seakan hambar begitu saja, sebab ada kekontrasan dengan apa yang digambarkan di berbagai iklan yang ditayangkan di media baik cetak maupun erlektronik. Dominasi perempuan yang dulu dilakukan dengan kekerasan, kini berganti rupa menjadi sebuah hegemoni terhadap perempuan yang berupa eksploitasi keindahan tubuh perempuan.
Peranan perempuan dalam media sekarang ini telah merambah berbagai posisi yang selama in biasa ditempati laki-laki. Produser, sutradara, dan beberapa posisi penting alinnya yang dulu sering menjadi tempat wajib bagi laki-laki kini bukan lagi milik mutlak dari laki-laki. Dalam dunia periklanan, perempuan masih sebatas objek eksploitasi. Perempuan dalam dunia periklanan masih hanya sebatas pemuas. Bahkan sutradara-sutradara iklan perempuan pun ternyata masih memelihara strereotipe tersebut untuk memuaskan konsumen. Jika kita menilik berbagai iklan yang beredar baik di media televisi maupun media cetak, masih menonjolkan keindahan tubuh perempuan. Perempuan yang cantik dan sempurna digambarkan dengan berkulit putih, berambut lurus, rajin merawat tubuh, langsing dan tidak gaptek (gagap teknologi). Ini banyak terjadi dalam iklan-iklan shampo, sabun mandi, kosmetik, dan pembalut wanita. Kita sering melihat iklan kosmetik pemutih kulit. Perempuan yang sebelumnya memiliki kulit putih setelah menggunakan kosmetik tersebut akan tampak putih dan cantik hanya dalam beberapaa hari saja.
Sedangkan untuk iklan obat-obat penguat untuk laki-laki malah lebih eksploitatif lagi. Dalam iklan-iklan tersebut, wanita harus siap melayani laki-laki dan selalu berpenampilan seksi agar bisa memuaskan pasangannya. Tentu saja ini seakan meluluhkan perjuangan gender yang di gelorakan banyak aktivis perempuan selama ini. Ketika mereka siap melakukan upaya pemberontakan tradisi yang patriarkis ternyata dalam sekejap saja citra perempuan yang patriarkis masih selalu dipelihara media.
Kecenderungan selama ini, iklan menempatkan perempuan sebagai model. Memang ini menjadikan iklan sebagai lahan yang subur untuk perempuan. Model iklan ditujukan untuyk memberikan rasa keindahan untuk penonton. Maka dipilihlah sosok perempuan yang tampak sangat sempurna seperti yang telah digambarkan. Kecenderungan seperti ini tidak hanya terjadi di negara kita saja, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat pun masih melakukan hal-hal semacam ini. Perempuan menjadi objek pemuas penonton dalam periklanan.
Perilaku eksploitasi perempuan tidak hanya dilakukan dengan menyuguhkannya dalam iklan. Dalam dunia sinetron dan lawakan pun, perempuan juga sebagai objek ekploitasi. Dalam sinetron, biasanya diperankan perempuan-perempuan cantik dengan berbagai peran. Memang kecenderungan yang ada, penikmat sinetron adalaah perempuan. Gambaran dalam sinetron yang sering kita lihat selama ini adalah seorang remaja perempuan yang hidup sengsara karena kekejaman dari ibu tiri yang sangat tergila-gila dengan harta. Sinetron walaupun sebuah cerita fiktif, namun hal tersebut tetap menggambarkan suatu bentuk kehidupan yang terjadi disekitar kita. Penggambaran profil perempuan yang buruk misalnya perempuan penggoda, remaja perempuan yang menjadi PSK karena broken home, istri yang gila harta, dan mertua yang jahat semakin memberikan citra buruk kepada perempuan di masyarakat. Sedangkan dalam dunia lawak, bintang tamu perempuan cantik biasanya hanya sebagai alat penarik penonton. Perempuan tidak lebih sebagai alan pelengkap dalam media hiburan.
Dalam tayangan musik rakyat seperti dangdut, eksploitasi perempuan dengan berbagai gerakan yang erotis semakin menguatkan budaya yang eksploitatif terhadap perempuan. Tidak heran jika beberapa waktu yang lalu mengundang protes dari masyarakat terhadap media yang bersangkutan. Sehingga menggugah kepedulian pemerintah (Presiden SBY) yang menghimbau agar tayangan musik dangdut, tidak menampilkan pusar perempuan dan goyangan yang erotis. Media massa kebanyakan masih profit oriented, dan yang mendominasi media pada umumnya adalah pemilik, penulis, reporter,editor, dsb, yang semua itu masih didominasi oleh laki-laki.
Citra perempuan (image of women) di media massa (dalam film, iklan) masih memperlihatkan stereotipe yang buruk dan merugikan perempuan. Perempuan masuh digambarkan pasif dan hanya sebagai pemuas saja. Maka citra seperti ini harus dirubah juga oleh media. Ini bisa dilakukan dengan mensosialisasikan masalah kesetaraan gender kepada masyarakat luas yang masih kurang sadar akan kesetaraan gender. Dengan menambah porsi isu perempuan, media memberikan pendidikan kepada masyarakat. Dengan demikian, maka media akan berperan dalam mengasah kepekaan gender di masyarakat.
Dengan mensosialisasikan isu-isu gender kepada masyarakat akan turut membantu upaya demokratisasi dan meningkatkan kampanye secara luas dengan menggunakan program-program pendidikan umum dan swasta untuk memperluasn informasi dan meningkatkan kesadaraan hak-hak perempuan melalui media massa. Kesadaran akan gender akan membantu perempuan keluar dari penindasan yang sekarang ini berupa eksploitasi tubuh di media

Tidak ada komentar: