Senin, 05 November 2007

Lumbung Padi, Tradisi Ketahanan Pangan yang Hilang


Oleh: Muhammad Imam Subkhi
Tercatat dalam sejarah, sebagai negara agraris hasil pertanian adalah komoditas yang kita banggakan. Namun sayangnya ini hanya pernah terjadi pada negara kita saja. Dan pulau Jawa adalah penghasil padi yang sangat potensial karena sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani yang hidup di pedesaan. Tetapi kenyataannya dalam hampir dasa warsa terakhir, impor beras selalu mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini jelas sangat kontras dengan predikat kita sebagai negara agraris. Peningkatan ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu keterlambatan panen sebagai akibat dari panjangnya musim kemarau dan bencana banjir. Sehingga kita sering terancam kekurangan pangan khususnya beras.
Memang masalah ketahanan pangan (food security) telah menjadi isu sentral yang menasional. Bahkan isu ini wajib menjadi pokok pembangunan bidang pertanian dan pembangunan nasional. Badan pangan dunia FAO menginterpretasikan food scurity sebagai kemampuan untuk menjamin tersedianya pangan bagi seluruh penduduk sepanjang tahun dengan harga terjangkau untuk dapat hidup sehat dan aktif.
Masalah food security tidak bisa kita lepaskan dari komoditas beras. Sebab komoditas ini menjadi bahan pangan pokok bagi hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Sehingga setiap harga komoditas ini melonjak atau sedang langka, banyak daerah termasuk di Jawa Timur melakukan Operasi Pasar. Namun ternyata hal inipun tak banyak menjawab permasalahan kelangkaan dan mahalnya beras di masyarakat. Sebab seringkali bocor kepada tengkulak. Jelas ini sangat disayangkan. Andai kita mau menyalahkan, tidak sepatutnya ini kita salahkan kepada pemerintah saja. Namun kita seharusnya bisa menggali tradisi pertanian masa lalu kita yang pernah kita tinggalkan. Pada masa lampau kita mengenal adanya lumbung padi di desa-desa untuk sistem pertahanan pangan lingkungan. Petani tidak menjual secara keseluruhan hasil panen padinya kepada pembeli atau tengkulak. Petani seharusnya bisa mengkalkulasi kebutuhan pangannya selama satu musim tanam dengan hasil tanamnya. Berapa dia bisa sisakan untuk cadangan kebutuhan pangan baik untuk keluarga maupun lingkungannya. Sehingga tidak seperti sekarang ini dimana masyarakat pedesaan yang mayoritas bekerja sebagai petani malah membeli beras karena kekurangan stok beras.
Berkaca dari pengalaman, dengan telah kita tinggalkannya tradisi lumbung padi atau lumbung tani ternyata kita sering diguncang masalah kelangkaan pangan. Bahkan sekarang ini, petani yang menghasilkan padi malah membeli beras. Jelas ini sebuah keadaan yang aneh namun benar-benar terjadi. Kita terbuai dengan telah adanya pasar tanpa mengkalkulasi fluktuasi pasar. Padahal dalam hukum pasar, jika permintaan naik maka penawaran akan cenderung turun. Ini mengakibatkan melonjaknya harga komoditas yang sedang dicari. Begitu juga dengan harga beras dimana banyak permintaan, maka harga yang ditawarkan akan semakin melonjak.
Dengan adanya lumbung padi di desa-desa, paling tidak akan menimbulkan efek positif yang dapat dirasakan oleh petani. Pertama, lumbung padi sebagai media food scurity yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan pangan di desa. Sehingga masyarakat petani tidak perlu membeli beras yang rata-rata adalah beras impor. Selain itu, jatah raskin juga tidak perlu sampai ke desa-desa karena stok beras di desa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Kedua, dengan telah terpenuhinya kebutuhan pangan di desa, masyarakat desa akan dapat memikirkan hal yang lain untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Misalnya menggalakkkan peternakan sebagai penopang penguatan perekonomian desa. Atau melakukan kegiatan perekonomian lain sebagai sampingan selain kegiatan pertanian. Ketiga, dengan adanya lumbung padi, bisa digunakan sebagai sarana untuk melawan tengkulak yang ternyata malah seringkali merugikan masyarakat. Setiap musim panen walaupun pemerintah telah menetapkan harga padi, namun kenyataannya petani tetap tidak berdaya menghadapi para tengkulak. Petani harus tetap mengikuti harga yang ditetapkan para tengkulak yang rata-rata lebih trendah dari harga yang telah ditetapkan pemerintah. Lalu ketika hasil panen padi masyarakat petani desa telah jatuh ketangan tengkulak, mengakibatkan menipisnya stok pangan khususnya beras di desa. Sehingga masyarakat desa harus menggantungkan kebutuhan pangannya pada kucuran jatah raskin yang kualitasnya perlu dipertanyakan.
Jika keberadaan lumbung padi bisa direalisasikan, setelah kebutuhan pangan (beras) di desa telah dipenuhi, maka petani tinggal menghitung jumlah hasil panen dikurangi kebutuhan pangan selama satu musim tanam atau satu tahun. Lalu hasil panen setelah dikurangi kebutuhan pangan tersebut misalnya lebih, maka kelebihannya tersebut bisa dijual dan didistribusikan untuk kebutuhan masyarakat perkotaan yang rata-rata bekerja di perdagangan dan industri. Sehingga jika terjadi kelangkaan pangan atau melonjaknya harga beras dari jangkauan daya beli masyarakat, imbas negatifnya tidak perlu dirasakan oleh masyarakat desa dan kota. Sebab wilayah pedesaan tidak perlu lagi membeli beras. Sehingga jatah raskin hanya perlu didistribusikan kepada masyarakat perkotaan.
Jika di pedesaaan sekarang ini mampu digalakkan lagi lumbung padi sebagai konsep ketahanan pangan, maka paling tidak akan semakin meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya. Di sisi lain, keuntungan yang bisa diperoleh pemerintah adalah dapat menekan impor beras. Sehingga dengan semakin kecilnya impor beras, petani bisa mempertahankan harga.padi. Kebijakan impor beras secara terus-menerus akan menimbulkan dampak semakin melonjaknya harga beras di pasaran dunia dan menghancurkan harga beras hasil panen petani. Sebab 80 persen perdagangan beras dunia dikuasai oleh enam negara yaitu Thailand, USA, Vietnam, Pakistan, China dan Myanmar (Suryana, et al., 2001). Sehingga sistem perdagangan beras di dunia akan ditentukan kekuatan oligopolis. Selain itu, berkaca dari jumlah beras yang di impor oleh suatu negara, maka akan sangat mempengaruhi pandangan dunia mengenai kemampuan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.

Nasib Petani Pasca Impor Beras

Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Semenjak kemerdekaan, industrialisasi semakin berkembang pesat saja. Hal ini adalah bagian dari akibat laju modernisasi yang berkembang di perkotaan. Memang kita sempat memiliki harapan atas prospek revolusi hijau. Sehingga, masyarakatpun mulai beralih meninggalkan sektor pekerjaan agraris melangkah ke industri. Memang pada tahun 1980-an, kita pernah berjaya di sektor pertanian dengan wujud swasembada pangan. Namun prestasi itu semakin menurun seiring semakin tergerusnya lahan pertanian oleh lahan industrialisasi. Sehingga tidak heran jika sekarang ini kita harus mengimpor beras dari negara yang dulu belajar bertani dari Indonesia seperti Vietnam dan Thailand. Padahal negara kita sampai sekarang ini masih digolongkan pada negara yang agraris.
Menjadi negara swasembada pangan di tahun 1980-an seolah masih menjadi sebuah kebanggaan. Namun sekarang ini kebanggaan tersebut telah sirna. Kebanggaan menjadi negara swasembada pangan menjadi sebuah kebangaan semu yang masih dibanggakan. Padahal sekarang ini kondisi pertanian kita sangat memprihatinkan. Kondisi petani yang selalu kesulitan melakukan produksi selalu terulang bertahun-tahun. Diantara kendala yang menjadi kesulitan petani adalah harga pupuk yang semakin membubung tinggi sementara harga hasil pertanian selalu tidak seimbang. Sehingga kondisi petani selalu identik dengan masyarakat yang tertinggal dan tradisional.
Melihat realita diatas, sebenarnya semenjak dulu pemerintah telah diantisipasi dengan menyelenggarakan berbagi terobosan pertanian kita. Diantaranya dengan meningkatkan teknologi pertanian dan perbaikan cara bertani. Ini dilakukan dengan mendirikan IPB (Institut Pertanian Bogor) dan fakultas pertanian di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Hal tersebut dimaksudkan agar Indonesia sebagai negara agraris mampu meningkatkan kualitas dan jumlah produksi pertanian. Namun hal tersebut kurang terasa atau bahkan tidak terasa sama sekali. Sebab selama ini tidak terlihat terobosan yang mampu ditransformasikan kepada masyarakat luas. Sarjana-sarjana pertanian kita hilang entah kemana. Seharusnya dengan semakin bertambahnya sarjana pertanian, maka harus berbanding lurus dengan peningkatan kualitas dan kuantitas hasil pertanian.
Sementara itu, kondisi petani di Indonesia kembali dipukul oleh pemerintah dengan peningkatan impor beras oleh pemerintah. Jelas ini sangat merugikan bagi petani. Untuk meningkatkan kualitas dan kuanitas hasil pertanian, pemerintah seharusnya membuat terobosan yang mampu mengangkat kemakmuran petani. Diantaranya selain melakukan pengaturan harga secara ketat, juga menanamkan jiwa-jiwa yang cinta akan kegiatan dan tradisi agraris kita.
Pengawasan harga ini dimaksudkan agar petani tidak selalu kalah dengan tengkulak yang bebas menentukan harga dan merugikan petani. Sehingga petani kita tidak selalu dalam posisi yang tertindas. Ini bisa kita lihat pada masalah harga gabah. Harga gabah dari petani yang dijual sangat murah kepada tengkulak, kondisinya berbalik dengan harga beras. Seharusnya dengan harga gabah yang murah, maka harga beras juga ikut murah. Dan jika harga beras mahal, maka harga beras juga harus seimbang. Sehingga nasib petani selalu menjadi pihak yang selalu kalah dengan permainan harga para tengkulak. Ironisnya lagi, kondisi petani kita sekarang ini malah kekurangan beras untuk konsumsi sehari-hari. Sehingga dengan alasan ini membuat pemerintah meningkatkan jumlah impor beras tahun ini. Kebijakan ini disatu sisi menolong, namun disisi lain membunuh petani secara langsung.

Urbanisasi dan industrialisasi
Selain itu, hal lain yang melatarbelakangi merosotnya sektor pertanian, hal lain yang ikut berperan ada tiga macam. Pertama, semakin berkurangnya lahan pertanian oleh industri dan permukiman. Hal ini jelas akan mengancam ketahanan pangan nasional. Kedua, persepsi masyarakat mengenai pertani yang dianggap tradisional. Seiring dengan semakin berkembangnya modernisasi, maka segala hal yang dianggap tradidional harus mulai ditinggalkan. Modernisasi secara bersamaan menggerus pertanian dan gaya hidup masyarakat. Kaum muda mulai menjauhi pekerjaan menjadi petani. Mereka lebih memilih menjadi buruh pabrik dan pekerja kasar di kota daripada bertahan menjadi petani yang hanya hidup di desa. Padahal ketika kita memilih menjadi buruh pabrik, kesejahteraan juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh petani. Hanya gaya hidup saja yang akan membedakan yang lebih disebabkan dari pluralitas yang ada di kota dan homogenitas di pedesaan. Masyarakat terjebak dalam hedonisme kehidupan kota. Sehingga menyebabkan terjadinya faktor ketiga yaitu urbanisasi.
Di sisi lain, tergerusnya pekerjaan dan hasil di sektor pertanian oleh industri, juga tidak terlepas dari penciptaan ideologi Barat mengenai paham developmentalisme. Paham ini memang memberi harapan perubahan bagi nasib berjuta masyarakat di dunia ketiga. Namun oleh Mansour Fakih, hal ini tidak lebih dari cermin pemikiran Barat mengenai social change menuju higher modernity. Modernisasi itu sendiri dimaknai sebagai bentuk teknologi dan pertumbuhan ekonomi mengikuti jejak negara-negara industri yang mengacu pada revolusi hijau.
Sementara Revolusi Hijau sendiri yang berasal dari Amerika mencoba memasukkan logika pertumbuhan yang dibawa oleh W.W.Rostow yang bertumpu pada akumulasi modal. Dalam pelaksanaan teknisnya, revolusi hijau dijalankan dengan memasukkan industrialisasi dan modernisasi teknologi pertanian menuju langkah yang kapitalistik. Memang paham teori pertanian secara kapitalis ini sempat coba dibantah oleh teori mikro Chayanov yang mengikuti logika ekonomi kerja keluarga dan alokasi sumber daya dalam keluarga.
Laju urbanisasi membuat lahan pertanian di pedesaan semakin terbengkalai. Sementara industri sendiri mencoba memasuki lahan pertanian yang ada di pedesaan. Sehingga posisi pertanian sekarang ini terjepit dari berbagai sisi, yaitu sisi dalam oleh petani yang meninggalkan lahan pertaniannya dan dari sisi luar oleh industri. Di sisi yang lain, impor beras dan hasil pertanian yang lainnya semakin menjatuhkan hasil pertanian dalam negeri. Akibatnya usaha penyediaan pangan secara mandiri gagal dilakukan. Petani enggan bercocok tanam lagi kurang menguntungkan. Selain itu, kehidupan kota lebih menjanjikan variasi yang menarik petani untuk pindah ke kota. Hal ini sangat berbahaya di saat pertumbuhan penduduk kita semakin cepat, sementara penyediaan pangan kita kurang.
Pengembalian ideologi agraris bisa kita mulai lakukan dengan mulai dengan proses pendidikan sejak dini. Kita masukan dalam kurikulum pendidikan untuk selalu memelihara kultur agraris. Sehingga ada sebuah perimbangan antara industrialisasi dan modernisasi dengan kehidupan agraris. Memang kita sangat sulit untuk dapat kembali pada kultur agraris yang telah kita tinggalkan. Namun minimal kita mulai sadar untuk tidak melupakan sektor penyediaan bahan pangan ini.

Plagiat Lebih Kejam daripada Artikel Ganda


Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Pembahasan mengenai masalah artikel ganda di koran ini dalam beberapa minggu ini semakin menarik saja. Berbegai perdebatan muncul baik itu kecaman maupun (sedikit) pembelaan kepada pelaku artikel ganda. Memang secara etika, dalam pandangan saya artikel ganda tidak dibenarkan. Namun secara hak, perilaku ini bukanlah sebuah pembajakan atau plagiat Hak Atas Kekayan Intelektual (HAKI). Namun kesalahan dari perilaku ini memang tidak dapat kita limpahkan pada satu pihak saja. Saya sepakat untuk semua pihak yang berhubungan dengan ini (penulis, redaktur dan pembaca) sama-sama melakukan interospeksi diri.
Problematika artikel ganda memang sebuah aib. Namun aib yang lebih menyakitkan adalah plagiat atas sebuah karya (tulisan). Mengingat, proses pemunculan sebuah karya tulis bukan masalah mudah. Diperlukan pemikiran dan proses dialektika yang berkelanjutan. Saya sendiri pernah menjadi korban atas kegiatan plagiat. Tulisan saya yang dimuat di koran ini dengan judul “Wajah Bangsa Gila Gelar” pernah di bajak oleh Padang Ekspres untuk dijadikan tajuk rencana. Saya mengetahui ini saat coba melihat tulisan saya di internet. Lalu ketika saya coba buka Padang Ekspres yang ada judul tulisan saya, coba saya baca lebih teliti. Mulai judul sampai isi tulisan, setelah saya bandingkan dengn tulisan saya ternyata sama. Perbedaan yang nampak adalah dalama tulisan tersebut tidak tercantum nama saya dan telah dipotong di beberapa bagian saja. Walaupun telah dipotong (bukan dirubah) di beberapa bagian, namun ketika kita baca isinya akan tetap sama dengan tulisan saya yang dimuat Jawa Pos (22/8/1005). Atau dengan kata lain, walau jika secara dilihat secara kasat mata tidak sama sepenuhnya, namun hasil tulisannya tetap dari satu artikel saja.
Memang pada awalnya, saya mengirimkan tulisan saya dengan judul “Gelar Palsu, Perkeruh Wajah Pendidikan Kita”. Namun oleh redaktur diganti dengan judul “Wajah Bangsa Gila Gelar”. Namun secara hak atas sebuah karya, saya adalah pihak yang paling berhak atas tulisan tersebut. Selanjutnya saya coba klarifikasi kepada Padang Ekspres, namun tidak pernah ada jawaban. Kemudian saya adukan kepada redaksi Jawa Pos, sampai sekarang masih diselidiki. Namun dengan segala keterbatasan, akhirnya saya biarkan saja tanpa tindak lanjut.
Kita semua pasti semua pasti sepakat untuk mengutuk kegiatan plagiat. Sebab dampak yang ditimbulkan jelas merugikan dan sengaja dilakukan secara sepihak. Apalagi kejadian diatas dilakukan seorang redaktur sebuah koran yang mungkin sangat berpengaruh didaerahnya. Ini adalah perbuatan memalukan yang tidak patut untuk ditiru kita semua.
Bukan berarti, saya menilai buruk pada semua redaktur. Namun menegaskan bahwa kita (redaktur, penulis dan pembaca) juga manusia. Hal ini juga bermaksud untuk kembali menegaskan bahwa dampak yang ditimbulkan juga akan lebih luas. Selain merugikan penulis asli, juga memberi kesan buruk pada redaktur (media) yang melakukan pembajakan ini dan beberapa pihak lainnya seperti koran yang pernah mempublikasikan artikel tersebut. Atau mungkin saja imbasnya akan terjadi secra meluas. Kita bisa lalai, namun bisa juga sengaja melakukan kesalahan. Lalu kita akhirnya juga bisa menilai atas baik buruk suatu tindakan.
Kembali kepada masalah artikel ganda. Dalam pandangan saya, kejadian tidak etis ini terjadi karena sebuah kelalaian. Namun jika penulis secara sengaja melakukannya demi alasan ekonomis, maka kejadian tidak etis berubah menjadi tercela. Namun ketika sebuah tulisan yang dikirim sejak lama namun belum dimuat, sangat wajar jika seseorang coba mengirimkan ke media lain. Hal ini didasari oleh penulis bahwa tulisannya tidak dimuat. Saya sendiri pernah mengirim tulisan sampai satu bulan baru dimuat. Hal ini mungkin juga pernah dialami oleh penulis-penulis yang lain. Namun sebisa mungkin, selama ini saya hanya mengirimkan satu tulisan untuk satu media saja. Jika ingin dikirim ke media lain, sesedikit apapun, seyogyanya tulisan dirubah agar tidak terjadi artikel yang benar-benar sama. Ini buka berarti saya membenarkan tindakan pelaku (penulis) artikel ganda. Saya sepakat untuk dilakukan embargo kepada pelaku artikel ganda. Sementara untuk plagiator, aturannya telah diatur oleh undang-undang.

Kekerasan Dalam OSPEK

 
Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Kehadiran mahasiswa baru pada tiap perguruan tinggi setiap tahunnya akan disambut dengan berbagai acara oleh mahasiswa seniornya. Acara seperti OSPEK (Orientasi Studi Pengenalan Kampus), MK (Malam keakraaban) atau acara-acara lainnya adalah acara yang ditujukan untuk menyambut kahadiran mahasiswa baru. OSPEK dan acara penyambutan sejenisnya sepertinya selalu menjadi momok bagi setiap mahasiswa baru ketika memasuki perguruan tinggi. Ini tidak lepas dari penilaian buruk sebagian kalangan terhadap acara penyambutan mahasiswa baru tersebut yang dianggap identik dengan ajang aksi kekerasan mahasiswa senior terhadap mahasiswa baru.
Perdebatan perlu tidaknya diselenggarakan OSPEK selalu mencuat setiap memaasuki ajaran baru perkuliahan. Tentu saja ini tidak lepas dari kejadian-kejadian tahun sebelumnya. Mengingat OSPEK di beberapa perguruan tinggi telah menewaskan mahasiswanya akibat tindak kekerasan senior terhadapmahasiswa baru, tentu ini membuat para panitia penyelenggara penerimaan maba tahun ini harus berhati-hati dalam memperlakukan maba.
Terlepas dari penolakan beberapa pihak, pihak panitia OSPEK dari tiap-tiap perguruan tinggi tentu tetap menginginkan OSPEK diselenggarakan. Akan tetapi, ini memberikan konsekuensi kepada panitia OSPEK untuk merubah image buruk masyarakat terhadap cara-cara penyambutan maba tersebut. Kekhawatiran akan terjadinya tindak kekerasan terhadaap mahasiswa baru masih menghantui para orang tua mahasiswa dan pemerhati pendidikan lainnya. Panitia penyambutan mahasiswa baru harus bisa memberikan jaminan akan tidak adanya tindak kekerasan terhadap maba. Jika OSPEK menjadi ajang balas dendam atau aksi kekerasan senior terhadaap maba adalah tindakan premanisme. Jika ini trus terjadi, kita pasti bertanya dimana letak humanisme dari pendidikan itu sendiri.
Kita harus menumbuhkan kesadaran bahwa peran mahasiswa adalah agent of change. Sebagai agen perubahan, maka mahasiswa dituntut untuk bisa memberikan pemikiran yang berarti untuk kemajuan bangsa. Untuk itu, penyambutan terhadap mahasiswa baru selain mengenalkan kampus juga harus bisa menjadi dasar tumbuhnya ide-ide kritis dan kesadaran mahasiswa baru. Ketika mahasiswa baru disambut dengan aksi premanisme, berarti kita memberikan dasar pemikiran keekerasan. Mahasiswa senior harus bisa memberikan contoh yang baik bagi mahasiswa baru tentang sikap yang humanis.
Mahasiswa sebagai insan intelektual dan salah satu komponen pro-demokrasi, harus bisa dicontohkan mahasiswa senior terhadap mahasiswa baru. Kemampuan melakukan pengamatan, analisa atas berbagai kecenderungan yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat harus ditularkan kepada mahasiswa baru dalam setiap acara penyambutan mahasiswa baru. Ini sangat penting. Penumbuhan idealisme mahasiswa yang selalu peduli atas keadaan kaum tertindas menjadi tujuan utama. Sebagai komponen pro-demokrasi, diharapkan mampu menjadikannya sebagai penggerak atas gerakan moral suatu bangsa.
Seharusnya baik masyarakat maupun panitia OSPEK pada masing-masing perguruan tinggi perlu menata ulang pemikiran mengenai OSPEK itu sendiri. Anggapan masyarakat bahwa OSPEK merupakan ajang aksi kekerasan terhadap mahasiswa baru perlu segera ditepis. Mengingat, dari namanya saja, acara ini bertujuan mengenalkan maba terhadaap lingkungan kampus. Selain itu, acara ini juga bertujuan memberikaan kesadaaraan baru tehadap mahasiswa baru mengenai statusnya sekarang yang telah menjadi mahasiswa. Penumbuhan ide-ide kritis terhadap mahasiswa baru adalah salah satu contohnya.
Aksi kekerasan pada OSPEK sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir sudah jarang dijumpai. Namun dengan tersebarnya tayangan aksi kekerasan di STPDN menimbulkan berbagai kekhawatiran masyarakat pada acara penyambutan maba di masing-masing perguruan tinggi. Kekerasan senior terhadap maba biasanya terjadi karena maba dianggap melanggar peraturan OSPEK yang telah ditetapkan panitia. Namun biasanya bukan kekerasan seperti pemukulan atau lainnya, hukuman itu biasanya berupa push up, lari, atau lainya. Ini bukan tergolong kekerasan. Namun belajar dari pengalaman yang ada, dengan masih dianggap berbahaya dan diprotesnya model hukuman seperti itu, panitia penerimaan mahasiswa baru biasanya mengganti dengan memberikan tugas lainnya misalnya membuat makalah atau tugas-tugas ilmiah lainnya yang lebih inovatif dan ilmiah. Perlu kita sadari lagi bahwa kekerasan sudah bukan jamannya lagi untuk menyambut kehadiran mahasiswa baru. Masyarakatpun tak perlu takut dengan acara-acara seperti ini.
Dalam memberikan tugas-tugas terhadap maba oleh panitia OSPEK selama ini juga cenderung mendidik. Misalnya membuat makalah, meresensi buku, mencatat berita-berita yang berhubungan dengaan tema pada OSPEK dan lainnya. Memang jika kita lihat, ini bisa dikatakaan memberatkan mahasiswa baru. Akan tetapi tugas-tugas tersebut biasanya diberikan secara per kelompok, sehingga kelompok harus membagi sendiri tugas yang harus dilakukan masing-masing anggota kelompok untuk mengerjakan tugas tersebut.
Kepanitiaan penyambutan mahasiswa baru harus dapat membuat acara tersebut menjadi acara yang ilmiah, fun, dan dapat menumbuhkan ide-ide kritis mahasiswa. Misalkan dengan melakukan pemutaran film-film ilmiah, diskusi kelompok, manajemen konflik, problem solving, pengenalan OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus), bhakti sosial dan lain sebagainya.
Kegiatan seperti diatas saya kira adalah salah satu alternatif yang bisa ditawarkan untuk menghindarkan aksi kekeraasan senior terhadap mahasiswa baru.

RAMADHAN, PELACURAN DAN JIHAD

Oleh: M. Imam Subkhi

Memasuki bulan Ramadhan, penganut agama Islam diwajibkan berpuasa. Selain berpuasa, umat Islam juga dianjurkan untuk melakukan evaluasi diri atas segala dosa yang telah dilakukan baik secara sadar maupun tidak. Karena telah menjadi fitrahnya bahwa manusia adalah tempat salah dan lupa.
Ramadhan adalah bulan suci bagi agama Islam. Pada bulan puasa seperti sekarang ini, biasanya orang berusaha meningkatkan derajat keimanannya serta pengetahuan agamanya. Usaha kearah ini dilakukan dengan menempuh berbagai macam cara. Di sekolah dasar dan menengah diadakan pesantren kilat atau pondok Ramadhan, bagi yang sibuk dengan kerja kantor, mengikuti pengajian Ramadhan setiap pagi setelah subuh atau setelah tarawih, bahkan ada yang mengikuti pengajian di pondok pesantren selama bulan puasa.
Namun ada hal lain yang cukup mengganjal pemikiran saya setiap memasuki bulan Ramadhan. Pada judul diatas, mungkin sama sekali tidak ada kaitan antara Ramadhan dengan lokalisasi pelacuran. Seiring datangnya bulan Ramadhan, banyak kota menerapkan kebijakan baru yang tujuannya untuk menghormati umat Islam dalam menjalankan puasa. Misalkan dengan mengeluarkan kebijakan berupa perda penutupan tempat-tempat hiburan malam seperti bar, karaoke, bilyard dan lokalisasi pelacuran. Berbagai razia dilakukan terhadap objek-objek diatas untuk melaksanakan perda tersebut.
Namun dalam pandangan saya, ini adalah suatu hal yang ganjil.
Secara harfiah, puasa berasal dari bahasa Arab ‘saum’ yang berarti menahan. Lalu kita memaknai puasa sebagai perintah Allah untuk menahan berbagai macam hal yang kita sukai baik yang halal seperti makan, minum dan berhubungan badan di siang hari. Namun kita sering salah mengintepretasi pemaknaan puasa. Ini bisa kita lihat dengan banyaknya tuntutan agar pemerintah mengeluarkan peraturan agar warung-warung makanan menutup kiosnya atau memberikan penutup agar jika ada orang makan tidak dilihat mereka yang berpuasa. Selain itu, tuntutan berbagai kalangan adalah penutupan tempat-tempat hiburan malam dan lokalisasi. Ini jelas sebuah kesalahan menurut saya.
Puasa tidak ada kaitannya dengan warung. Puasa adalah usaha menahan diri untuk tidak makan dan minum di siang hari. Jika ada warung yang buka disiang hari, maka hal tersebut adalah tantangan bagi mereka yang melaksanakan ibadah puasa untuk menahan godaan-godaan puasa tersebut. Kita harus sadar bahwa orang lain tidak wajib menjalankan puasa seperti musafir, wanita yang datang bulan, dan lainnya sampai orang yang non Islam. Disinilah kita perlu tekankan nilai-nilai keislaman dengan menghormati orang lain yang tidak menjalankan puasa.
Kasus penutupan terhadap tempat-tempat hiburan malam menurut saya sangat disayangkan sekali. Padahal di tempat tersebut banyak saudara kita yang mengais nafkah. Terlepas itu halal atau haram. Lalu dengan penutupan tempat-tempat tersebut, apakah puasa seseorang akan khusyuk? Tentu tidak semudah itu jawabannya. Kekhusyukan puasa seseorang tergantung niatan dan daya tahan seseorang tersebut dari berbagai macam godaan yang datang setiap saat. Jika banyak godaan yang datang, orang tersebut mampu menahan diri untuk melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, maka disinilah kualitas puasa tercapai. Lalu pada malam hari apabila lokalisasi, bar, karaoke dan tempat-tempat hiburan lainnya diijikan untuk tetap beroperasi, maka disinilah Tuhan menguji umat Islam yang sedang berusaha melakukan tazkiyatun nafs — penyucian diri.
Dengan tetap beroperasinya tempat-tempat tersebut selain memberikan ujian bagi umat Islam, juga membiarkan orang lain mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya. Terlepas rizki yang diperoleh tersebut halam atau haram. Wacana ini bukanlah manganjurkan orang mencari rizki dengan cara apapun. Akan tetapi, Allah telah memberikan pilihan kepada hambanya untuk menempuh jalannya masing-masing. Dalam pemikiran saya, sangat sayang sekali selama ini sering terjadi tindakan perusakan terhadap tempat-tempat hiburan malam yang tetap beroperasi di bulan puasa oleh sekelompok orang yang ingin menegakkan syariat Islam dan dengan dalih menghormati bulan puasa. Jika yang terjadi demikian, maka dalam kacamata saya, agama pada momen bulan puasa digunakan sebagai alat legitimasi seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan kekerasan. Kiranya perlu kita sadari bahwa puasa memiliki banyak godaan. Yang mampu mengendalikan nafsu kita adalah diri kita sendiri. Kita dituntut oleh Allah untuk bisa mandiri dalam menjalankan syariat. Lalu jika lokalisasi, bar dan tempat lainnya pada bulan puasa dilarang beroperasi, maka dalam menjalankan ibadah kita meminta bantuan kepada orang lain.
Puasa Ramadhan di Indonsia seolah-olah dijadikan alasan untuk memanjakan umat Islam. Egoisitas umat Islam terhadap puasa muncul tiba-tiba. Dengan datangnya puasa, umat Islam meminta pemerintah menutup lokalisasi. Lalu asumsi saya, di luar bulan puasa, pelacuran kita perbolehkan. Kenapa umat Islam tidak mengoreksi dirinya dengan melakukan komparasi terhadap kebijakan pemerintah ketika umat agama lain akan merayakan hari besarnya. Misalkan ketika umat Hindu akan merayakan Nyepi, umat hindu tidak menyalakan lampu selama sehari — pati geni. Lalu mengapa ketika umat Hindu menyambut hari rayanya, pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak menyalakan lampu selama sehari untuk menghormati umat Hondu. Ini jelas tidak adil.
Bulan Ramadhan bisa juga diartikan sebagai bulan yang menumbuhkan egoisme pada umat Islam. Ini jelas bukan nilai-nilai Islam yang dijalankan jika kita menilik pada kasus yang saya tawarkan seperti diatas. Namun usaha pelegitimasian kekerasan dengan dalil jihad fi sabilillah. Maka perdebatan selanjutnya, pemaknaan jihad sendiri dalam konteks keindonesiaan barus bagaimana.
Jihad ada berbagai tingkatan dalam Islam. Pertama, jihad untuk diri sindiri. Disini ditekankan kepada setiap individu untuk mengekang segala hawa nafsu untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain seperti mencuri, korupsi, berzina, dan lain sebagainya. Jihad ini bisa dikatakan tingkatan yang paling berat. Mengingat setiap manusia memiliki keinginan dan ego.
Kedua, jihad untuk agama. Pada tataran ini, individu diwajibkan untuk memerangi orang kafir yang berusaha mengganggu agama kita. Namun sangat disayangkan, kita seringkali memaknai pertikaian agama misalnya kasus Ambon adalah sebuah jihad untuk agama. Memang benar, pertikaian yang terjadi pada waktu itu adalah antara orang Islam dan orang Kristen. Namun seringkali yang melakukan pertikaian tersebut menggunakan legitimasi agama untuk menglalalkan pembantaian terhadap orang Kristen. Yang perlu kita tekankan pertama kali untuk mengatasi permasalahan ini adalah semangat dan solidaritas kemanusiaan. Agama sebagai pemelihara nilai-nilai kemanusiaan yang harus pertama kali dikedepankan, bukan primordialisme agama.
Ketiga, Jihad untuk bangsa dan negara. Agama mewajibkan kepada setiap manusia untuk mempertahankan negaranya yang mengalami ancaman dari negara lain. Dengan adanya ancaman tersebut, dikhawatirkan akan terjadi pemberangusan peradaban suatu negara dan pelenyapan terhadap agama Islam pada suatu negara. Untuk itu, kita perlu mengobarkan semangat jihad untuk membela bangsa dan negara.

Kelaparan, Korupsi dan Privatisasi


Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Cukup mengagetkan ketika mendengar berita mengenai busung lapar yang mendera di beberapa daerah di Indonesia. Di tengah negeri yang katanya gemah ripah loh jinawe, subur makmur berlimpahkan kekayaan alam, masyarakatnya sampai diterpa masalah kekurangan pangan, sungguh sangat ironis. Negeri yang pernah swasembada pangan, kini sebagian masyarakatnya harus menderita kelaparan. Lalu yang muncul adalah pendapat bahwa di negeri ini ada yang tidak beres. Gemetaran rasanya ketika menuliskan ini untuk coba wacanakannya kepada khalayak.
Namun ketika kita bilang ada yang tidak beres dengan Indonesia mengenai kejadian busung lapar, sisi lain menggambarkan realitas empirik yang berbeda. Sebagian masyarakatnya hidup dengan berkecukupan bahkan sangat berlebihan. Nyatanya pesta hura-hura digelar setiap saat. Seolah tidak ada keprihatinan dan empati kepada saudara kita yang kelaparan. Kepedulian untuk ikut merasakan penderitaan orang lain seolah sirna ketika kita lihat dengan pesta-pesta. Bagi yang peduli, tentu rasa mengelus dada dan kepedihan yang dirasakan. Kok bisa, mungkin itu yang diucapkan.
Kita tidak usah terlalu jauh melihat pada kejadian busung lapar dulu. Di sekitar kita saja, mereka yang kekurangan pangan saja masih banyak, namun belum begitu menggugah kepedulian. Apalagi ketika kita berkaca dengan realitas busung lapar yang terjadi. Rasa hati yang teriris dan tersayat ketika kabar buruk mengenai busung lapar ini.
***
Busung lapar yang terjadi sebenarnya telah diramalkan para psikolog akan terjadi ketika bangsa ini diterpa badai krisis moneter. Mungkin lupa untuk diantisipasi oleh semua kalangan mengenai hal ini. Semua terfokus untuk membenahi kondisi perpolitikan negara yang kacau pasca lengsernya Soeharto. Memang semuanya akan tetap harus ada fokus untuk menyelesaikan dan memikirkan hal yang dianggap krusial mengenai bangsa ini. Kita tidak perlu saling menyalahkan dan atau selalu menyalahkan kinerja pemerintah. Akan tetapi kepedulian dan real action kita untuk hal yang kita anggap diperlukan untuk saling menyokong menyelesaikan permasalahan yang sedang dan akan kita hadapi selanjutnya.
Kesulitan ekonomi yang dirasakan masyarakat membuat mereka melakukan apa saja yang bisa dikerjakan untuk menyambung hidup mereka. Hal ini berlanjut ketika ketersediaan bahan pangan yang ada disekitar telah dirasakan telah habis dan tidak dilanjutkan untuk menghasilkan bahan pangan untuk waktu selanjutnya tidak bisa dilakukan karena habisnya ketersediaan tenaga yang menunjang untuk kembali mencari bahan pangan. Memang wabah busung lapar tidak kali ini saja terjadi di Indonesia. Ketika masa penjajahan Jepang, busung lapar mendera dengan kebijakan penjajah mengenai kerja paksa. Kita mungkin bisa sadari realita busung lapar dengan serakahnya penjajah waktu itu. Sedangkan realitas empirik sekarang ini ketika kita sudah merdeka dari kolonialisme penjajah, kita tentu bertanya-tanya, keserakahan siapa yang megakibatkan wabah busung lapar ini. Jawabannya adakal keserakahan itu sekarang ini tercermin dalam budaya korupsi yang seolah telah mendarah daging di Indonesia.
Merebaknya budaya korupsi di Indonesia adalah salah satu penyebab terjadinya krisis ekonomi. Ketika kita coba kaitkan dengan busung lapar, akan sangat logis untuk menggambarkan runtutan kronologisnya. Uang dan kekayaan negara yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat harus berhenti dan hanya dinikmati pejabat dan beberapa kalangan saja. Sehingga kesejahteraan sosial masyarakat terabaikan. Mereka yang seharusnya berhak ikut menikmati kekayaan negara harus bertahan dan hingga kelaparan. Keserakahan para koruptor yang tidak membiarkan orang lain bisa ikut menikmati haknya yang juga ada di dalam kekayaan negara. Sehingga mereka mati kelaparan. Apalagi kebanyakan yang mati adalah anak-anak kecil yang nantinya akan meneruskan estafet negeri ini. Koruptor sekarang ini telah membunuh satu generasi negeri ini. Jika ini terus terjadi, mungkin negeri ini akan selesai.
***
Hal lain yang menjadi biang keladi dari wabah busung lapar ini adalah munculnya privatisasi kekayaan dan perusahaan negara. Dengan telah dikuasainya beberapa sumber alam oleh korporasi global mengakibatkan kemiskinan pada masyarakat. Privatisasi dalam pendapat Mansour Fakih merupakan salah satu ramuan kinci sistem ekonomi global. Sehingga pelayanan sosial, pelayanan kesehatan dan perlindungan lingkungan menjadi terpangkas. Golongan terbawah di masyarakat dalam suatu negara adalah pihak yang paling dirugikan oleh kebijakan tersebut.
Privatisasi perusahaan negara dan desakan pasar bebas telah memiskinkan dan membusunglaparkan masyarakat. Pada masyarakat petani kecil, mereka dibuat tergantung dalam masalah bibit dan pupuk. Dengan alasan telah didaftarkan hak cipta bibit itu, masyarakat harus membeli terus dari perusahaan agribisnis. Ketika kemampuan membeli kedua hal tersebut telah habis, maka tanah petani tidak tergarap. Sehingga wabah busung lapar menerpa.
Busung lapar yang terjadi bukan karena kemalasan atau kebodohan mereka sendiri. Akan tetapi lebih karena pada regulasi kebijakan ekonomi global, keserakahan kapitalis dan koruptor. Penderita busung lapar hanyalah sebatas korban dari kebijakan dan keserakahan. Yang bisa kita harapkan sekarang adalah ketegasan pemerintah untuk memberantas korupsi dan kesediaan pemerintah melindungi rakyatnya. Amien.

Blok Cepu dan Perkembangan Dua Kabupaten


Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Akan dikelolanya kilang minyak di Blok Cepu memberikan secercah harapan bagi perkembangan dua daerah yaitu Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Blora.

Dengan mulai dibukanya pertambangan minyak tersebut, paling tidak akan menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) empat pihak yaitu Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah serta Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojonegoro. Sehingga diharapkan dapat memacu pertumbuhan kesejahteraan di lokalitas tersebut. Namun yang sangat memprihatinkan selama ini, dengan melihat kekayaan alam berupa minyak bumi yang ada di wilayah blok cepu ternyata tidak berimbas kesejahteraan bagi rakyat disekitar wilayah tersebut.
Hal ini terbukti dari masih tetap miskinnya masyarakat daerah Blora. Secara rasional, jika suatu daerah kaya akan kekayaan alam, maka masyarakatnya akan juga harus ikut menikmati hasil alam tersebut. Sehingga, jika perimbangan pembagian hasil eksplorasi tidak bisa dibagi dengan adil, maka laju urbanisasi kedua kabupaten tersebut diatas ke kota besar yang lain tidak akan terselesaikan. Sebab kecenderungan yang ada, masyarakat di kota-kota kecil di Asia, akan tetap menyerbu kota besar yang lebih menjanjikan.
Dengan tetap terjadinya perpindahan masyarakat dari kota-kota kecil ke kota besar, akan membuat potensi daerah terbengkalai. Sehingga di kota besar akan terjadi penumpukan tenaga kerja bahkan pengangguran. Jika di kota besar mereka tidak mendapatkan pekerjaan, yang terjadi adalah merebaknya angka kriminalitas dan prostitusi di kota-kota besar. Sebab kota besar memiliki tarik ekonomis daripada kota-kota kecil.
Jika diibaratkan, kota dalah sebuah organisme yang memiliki metabolosme. Kota akan menjadi kota yang sehat jika metabolismenya tidak tergangu. Maka sebuah kota besar akan tetap membutuhkan sebuah relasi dengan kota-kota kabupaten disekitarnya. Misalnya kota-kota kabupaten sebagai penyedia hasil pertanian dan hasil lainnya yang bisa memenuhi kebutuhan pangan bagi kota besar. Namun jika angkatan kerja di kota-kota kecil banyak terserap di sektor pekerjaan baik formal maupun informal di kota besar, maka akan sangat mengganggu metabolisme kota. Sehingga masyarakat yang tidak mendapatkan pekerjaan yang layak dan manusiawi bagi kehidupannya, akan membuat masyarakat tesebut teralienasi di kota tersebut.
Kota yang sehat adalah sebuah kota yang bisa memberikan kehidupan yang baik bagi warganya. Jika tidak tercapai, maka akan menimbulkan penyakit sosial baik bagi kota daerah tersebut maupun kota yang lain. Dengan bisa diterapkannya sebuah pola hubungan mutualistik antar daerah, akan dapat mengurangi penumpukan kemiskinan di kota. Sebab perlu disadari, kota sebesar apapun, secara geografis dan demografis maupun budaya memiliki batasan.
Maka dengan akan digarapnya Blok Cepu, diharapkan mampu membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat disekitarnya. Atau paling tidak dengan hasil penambangan minyak di Blok Cepu, pemerintah Kabupaten Blora dan Bojonegoro dapat menciptakan dan menambah lapangan pekerjaan baru bagi masyarakatnya dengan memanfaatkan hasil keuntungan pembagian hasil penambangan. Sehingga pengelolaan Blok Cepu perlu menekankan sebuah tanggungjawab sosial dan lingkungan bagi masyarakat disekitarnya.
Untuk itu, pemerintah pusat perlu menekan pengelola eksplorasi minyak di Cepu agar melaksanakan tanggung jawab sosial ini (Kompas, 27/6/2005). Tahun 2002, pendapatan pemerintah Kabupaten Blora dari hasil pertambangan yang dikelola oleh Exxon Mobile sebesar Rp 3,9 milyar (Kompas, 7/2/ 2003). Hal ini dirasa sangat kecil untuk participating interest daerah (PI) dan belum mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal ini dibuktikan dengan masih terdapatnya 800 anak yang bergizi buruk di Kabupaten Blora. Ini bisa menjadikan sebuah pertimbangan bagi pemerintah untuk mengatur sebaik-baiknya mengenai pembagian hasil.

Pembagian Hasil
Berkait dengan adanya participating interest sebesar 10 persen untuk daerah atas pengelolaan Blok Cepu, Pemerintah Propinsi Jawa Tengah menginginkan pembagian 46 persen untuk Jawa Tengah dan 54 persen untuk Jawa Timur dengan pertimbangan jumlah titik prospek yang ada di lingkaran Blok Cepu. Namun hal ini ternyata masih menjadi polemik bagi masing-masing pihak.
Dalam kenyataannya, pembagian ini masih terasa masih sangat kurang adil untuk pemerintah pusat sendiri dan untuk pengembangan dan pemberdayaan daerah sekitarnya. Sebab pembagian antara Exxon Mobile 50 persen dan Pertamina 50 persen. Dan 10 persen untuk daerah yang diambilkan dari komposisi penjualan masing-masing 5 persen dari pertamina dan Exxon menjadi rebutan empat pihak.
Paling tidak, jika kebijakan PI telah disetujui oleh Menko Perekonomian, maka perlu ditinjau ulang. Atau jika perlu, pemerintah pusat membatalkan perpanjangan kerjasama pengelolaan Blok Cepu dengan Exxon Mobile. Sebab, jika tanpa campur tangan Exxon diperkirakan pengelolaan Blok Cepu mampu membantu pemerintah dalam mengatasi kebutuhan minyak dalam negeri. Selain itu, dengan pasaran minyak dunia yang semakinmembumbung tinggi, akanlebih memberikan keuntungan ganda dalam perekonomian negara. Jika setiap hari bisa menghasilkan hampir 200.000 barel. Maka dalam sebulan mampu dihasilkan minyak Rp 2 triliun (dengan harga minyak USD 50/barel). Sehingga akan membantu kesulitan keuangan negara.
Di sisi lain, pengelolaan Blok Cepu memang sangat rentan terhadap konflik pemerintah secara vertikal maupun horizontal. Pemerintah daerah dengan dalih desentralisasi bisa melakukan protes terhadap pemerintah pusat jika pembagian hasil pengelolaan Blok Cepu dirasa tidak adil. Selain itu, konflik antar daerah yang saling berkepentingan akan sangat merugikan proses metabolisme di masing-masing daerah perkotaan disekitar Blok Cepu.

Peran Pemerintah Daerah
Rencana pengembangan di Kabupaten Blora dan Bojonegoro sangat potensial dengan memanfaatkan pengelolaan Blok Cepu. Dua kabupaten tersebut bersama Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur bisa mengajukan kepada Pemerintah Pusat untuk mengelola sendiri Blok Cepu. untuk itu, pemerintah harus berani mengambil kebijakan untuk tidak selalu tergantung dengan pihak asing dalam pengelolaan sumber daya alam. Sebab selama ini, ketika bekerjasama dengan pihak asing negara cenderung dirugikan dengan kurangnya transparansi pengelolaan.
Selain itu, pengembangan daerah bisa semakin berjalan lancar dengan pendapatan daerah yang besar akan semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Perlu di ingat juga, dalam pembangunan pertambangan, selain memperhatikan masalah kesejahteraam masyarakat yang selama ini menjadi korban aktivitas pengerukan sumber daya alam, perlu memperhatikan juga masalah ekologi setempat yang menjadi satu kesatuan dengan manusia.

Terorisme, Kejahatan Atas Kemanusiaan


Oleh: MUHAMMAD IMAM SUBKHI

Teror bom kembali terjadi di Jakarta 9 September 2004 di depan Kedubes Australia jalan HR. Rasuna Said. Pertanyaanya adakah kaitan dengan peledakan bom yang terjadi di berbagai tempat sebelumnya. Peledakan bom kali ini adalah salah satu dari tiga ledakan teror bom terbesar di Indonesia. 12 Oktober 2002 bom mengguncang Bali yang menewaskan 202 orang yang mayoritas warga negara Auatralia dan 300 orang lainnya luka-luka. Hampir satu tahun kemudian (5 Agustus 2003) bom dengan kekuatan ledak besar meluluh lantakkan hotel JW. Marriot Jakarta menewaskan 11 orang dan 152 orang luka-luka. Selain ledakan ketiga bom tersebut, ledakan bom dengan skala ledak rendah juga banyak terjadi di negeri ini. Sejak 23 September 2001, tercatat 17 kali peledakan bom di Indonesia.
Ketika menara kembar WTC Amerika dihancurkan oleh teroris pada 11 September 2001, Amerika langsung menuding jaringan kelompok Al Qaeda pimpinan Osamah sebagai pelakunya. Setelah itu, Amerika dengan segenap sekutunya membombardir Afganishtan guna mengusir tentara Taliban yang juga kelompok Al Qaeda. Setelah puas menghancurkan Afganishtan, Amerika dan sekutunya kembali menghancurkan Irak yang oleh Amerika diduga memiliki senjata nuklir dan dianggap mengancam keamanan dunia.
Dari peristiwa teror-teror bom ini pasti kita akan bertanya siapa sebenarnya pelaku dan memiliki motif apa di balik aksi teror tersebut. Setelah peledakan bom Bali, Polisi segera menciduk Imam Samudra dan kawan-kawannya. Peledakan bom Bali ditengarai bermotif agama. Namun sebagai orang beragama pasti kita akan membantah alasan terasebut. Tidak satupun agama yang mengajarkan melakukan kekerasan untuk kejahatan. Akan tetapi, agama apapun mengajarkan kedamaian untu seluruh umat manusia. Jika selama ini yang mendapatkan tuduhan miring adalah kelompok-kelompok Islam, maka patut kita pertanyakan kembali. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, Islam hadir di dunia sebagai rahmatan lil ‘alamin. Jika tersangka yang tertangkap adalah dari kelompok Islam, maka patut kita pertanyakan ke-Islamannya.
Tidak sedikit yang menengarai, aksi peledakan bom kuningan bermuatan politis. Saat kebanyakan orang tengah sibuk dengan kegiatan politik untuk memenangkan masing-masing capres, akhirnya menimbulkan kelengahan terhadap pihak-pihak yang seharusnya bertugas mengamankan negeri dari segala ancaman dan teror. Orang terlalu terlena dengan perebutan kekuasaan sehingga lupa dengan tugas yang seharusnya dijalankan. Teror ini walaupun disanggah memiliki muatan politis, akan tetapi mengapa diledakkan 11 hari menjelang pilpres putaran kedua. Sedikit banyak, teror bom ini akan berpengaruh terhadap pelaksanaan pemilu. Pihak keamanan dituntut memberikan keamanan ekstra ketat dalam Pemilu 20 September mendatang dan di tiap-tiap tempat lainnya.
Selain dugaan politis tentang bom kuningan tersebut yang bertujuan mengacaukan persiapan pemilu, penulis memiliki anggapan lain dibalik terjadinya aksi terorisme baik di Indonesia maupun di luar negeri. Sebagaimana kita ketahui, Amerika adalah negara yang paling gencar untuk mengobarkan perang terhadap terorisme. Ketika gedung WTC hancur, Amerika langsung menyalahkan Al Qaeda di Afganishtan. Lalu Amerika menyerang Afganishtan yang pada ujung-ujungnya juga meminta kemudahan jaringan minyak pada pemerintahan baru Afganishtan. Hal ini juga terjadi bagi Irak. Lalu dugaan selanjutnya, ada kemungkinan Amerika dan sekutunya memanfaatkan atau mungkin melakukan ini untuk menakuti dunia. Dengan posisinya sebagai polisi dunia, Amerika memiliki bargaining kuat untuk menekan negara lain untuk tunduk. Ini nantinya bekembang dengan berdirinya perusahaan-perusahaan Amerika di negara lain seperti di Indonesia. Sehingga bisa mengeruk kekayaan alam negara tersebut.
Menurut definisi ilmu intelejen, teror diartikan sebagai tindakan yang bertujuan untuk menciptakan ketakutan dan rasa tidak aman, sehingga terjadi keputus asaan. Dalam kacamata penulis, karena tindakan ini memberikan rasa tidak aman, maka terorisme sekarang ini menjadi ancaman bagi kebudayaan dunia (world culture) dan kemanusiaan (mankind) serta kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity).
Setelah ledakan bom Kuningan, Polisi langsung menetapkan otak peledakan tersebut adalah Dr. Azahari dan Noordin M Top. Akan tetapi, banyak kalangan menyayangkan mengapa teror bom semaca ini kembali terjadi. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kinerja badan intelejen negara kita sampai bisa kecolongan. Teror memang bisa terjadi dimana saja dan kapan saja.
Jika terorisme dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin kehancuran dunia semakin dekat saja. nyawa orang-orang yang tidak tahu apa-apa harus melayang. Aksi terorisme yang terus berlangsung di Indonesia memberikan stigma buruk bagi negara ini di mata internasional. Bahkan Amerika dan Australia tidak segan menyebut Indonesia sebagai sarang teroris. Jelas ini akan menimbulkan dampak buruk bagi Indonesia. Orang akan berfikir seribu kali untuk berkunjung ke Indonesia karena merasa tidak aman.
Peringatan negeri asing akan terjadinya peledakan bom kuningan yang tidak pernah diindahkan pemerintah Indonesia jelas sangat disayangkan. Ini terbukti dengan korban yang seluruhnya warga negara kita. Hanya kata ‘hentikan segala tindak terorisme’ yang bisa kita katakan.

Pembacaan Politis terhadap Ramadhan Di Kampus

MUHAMMAD IMAM SUBKHI

Ramadhan adalah bulan suci bagi agama Islam. Pada bulan puasa seperti sekarang ini, biasanya orang berusaha meningkatkan derajat keimanannya serta pengetahuan agamanya. Usaha kearah ini dilakukan dengan menempuh berbagai macam cara. Di sekolah dasar dan menengah diadakan pesantren kilat atau pondok Ramadhan, bagi yang sibuk dengan kerja kantor, mengikuti pengajian Ramadhan setiap pagi setelah subuh atau setelah tarawih, bahkan ada yang mengikuti pengajian di pondok pesantren selama bulan puasa.
Sementara itu, kegiatan Ramadhan di kampus juga perlu dilakuakan. Bisa saja kegiatan Ramadhan di kampus bisa memberikan penyadaran terhadap mereka yang sedang mengalami ketergantungan narkoba. Bulan ramadhan yang orang menganggapnya sebagai bulan yang penuh hikmah sangat dimungkinkan untuk menjadi momentum penyadaran.. Melalui even-even kecil yang diadakan, misalnya buka puasa bersama yang diisi dengan pengajian Ramadhan adalah contoh yang sering kita jumpai.
Kampus sebagai komunitas dari kalangan intelektual harus mampu menjadi transetter untuk penegakan dan perbaikan ahlak. Bentuk kepedulian mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat untuk bulan Ramadhan semacam ini bisa diwujudkan dengan berbagai macam kegiatan yang berguna bagi masyarakat itu sendiri. Misalkan mengadakan buka bersama dengan anak jalanan, panti asuhan, serta pemberian sumbangan sembako kepada mereka yang tidak mampu. Kegiatan semacam ini bukannya tidak pernah dilakukan pada bulan-bulan lainnya, akan tetapi, dengan momen bulan Ramadhan adalah untuk meningkatkan segala amal dan ibadah termasuk dalam bentuk kepedulian diatas.
Usaha pembentukan masyarakat yang toleran dan berahlak juga perlu dimulai terutama dari kalangan intelektual. Baru setelah itu, menginjak pada masyarakat yang religius (Islami). Alasan mengapa harus dimulai dari toleransi terlebih dahulu adalah ada kemungkinan jika langsung pada pembentukan masyarakat religius, akan cenderung eksklusif. Kelompok religi seringkali memandang yang tidak melaksanakan ibadah sebagai orang kafir. Ini tentu saja tidak benar, sebab yang menentukan kekafiran dan derajat agama seseorang adalah Tuhan itu sendiri. Sertelah masyarakat telah menjadi masyarakat yang sadar akan toleransi, mereka akan saling menghargai setiap tindakan dan berusaha mengatur diri agar tidak menyakiti orang lain. Baru setelah kesadaran ini tumbuh, baru norma dan dogma agama di tancapkan pada mereka bahwa hal semacam ini juga diatur dalam Islam.
Untuk kalangan mahasiswa sendiri, kajian-kajian keagamaan juga sangat menarik untuk dilakukan dalam bulan Ramadhan. Dengan banyak melakukan diskusi-diskusi agama maka akan banyak memberikan pengetahuan baru tentang agama Islam. Dengan bertambahnya penghetahuan kita tentang agama, maka kita akan menjadi orang lebih toleran dan mampu mnyesuaikan dengan berbagai macam keadaan. Keimanan kita akan semakin tebal seiring dengan bertambahnya pengetahuan kita tentang agama.
Momen Ramadhan seperti ini di kalangan kampus bisa saja menjadi sebuah pembacaan politis dilingkungan kampus. Aura persaingan antar organisasi ekstra kampus yang berbasis Islam seperti KAMMI, HTI (Gema Pembebasan), HMI, dan PMII saling mengencangkan persaingan. Perseteruan dalam menguasai mushalla atau masjid kampus dan unit kegiatan mahasiswa Islam (UKMKI). Ini sudah sangat sering terjadi. Tujuannya adalah dengan menguasai masjid beserta UKMKI-nya, mereka akan memegang kegiatan tambahan wajib seperti pelatihan baca Al-Qur’an (PBA) dari mata kuliah agama Islam. Pada kesempatan kegiatan tersebutlah sebagai momen mempengaruhi peserta PBA untuk mengikuti organisasi ekstra kampus tertentu. Lalu kita akan bertanya, apakah momen kegiatan bulan Ramadhan di kampus mereka jadikan sebagai media untuk memberikan pengaruh kepada yang ikut kegiatan rohani tersebut?
Saya bukannya berburuk sangka, sebab bisa saja dugaan semacam ini terbukti dan terjadi. Namun kalangan mahasiswa yang ingin mengikuti kegiatan semacam ini tentu mereka memiliki tujuan-tujuan tertentu yang tentu saja adalah usaha peningkatan pengetahuan tentang agama dan peningkatan ibadah dan iman kepada Tuhan. Mahasiswa sebagai calon intelektual pasti telah memikirkan target dan tujuan yang ingin dicapai ketika akan melakukan setiap kegiatan.
Memang pada dasarnya, yang mengikuti kegiatan rutin dari UKMKI adalah mereka yang sering kita sebut dengan kalangan Islam yang cenderung eksklusif. Yang mengikuti aktif kegiatan UKM tersebut seringkali adalah mereka yang aktif pada organisasi ekstra kampus tertentu. Legitimasi bulan Ramadhan bisa saja menjadi dasar pengaruh untuk menarik seseorang untuk sekarang ini. Melalui kajian-kajian Islam di bulan Ramadhan, mereka berusaha memberikan pengaruh ideologi mereka dan untuk dijalankan. Perdebatan mengenai perbedaan dalam Islam berusaha diingkari.
Islam di Indonesia adalah merupakan perpaduan dari ajaran Islam itu sendiri yang di sesuaikan dengan keadaan dan budaya masyarakat. Untuk itu, sangat tidak mungkin untuk menghilangkan. Sebab, dalam menyebarkan agama Islam, Wali Songo dalam menyebarkan Islam dengan memadukannya dengan kultur masyarakat sekitarnya. Islam semacam inilah yang selama ini dianggap tidak bisa diterima oleh kalangan-kalangan tertentu. Kita tidak berhak memaksakan pemahaman agama kita untuk diyakini oleh orang lain. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin harus bisa menempatkan dirinya bahwa Islam itu moderat.

Minggu, 21 Oktober 2007

BOS Rawan Penyelewengan

Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Selain memberikan musibah, kenaikan BBM membawa dampak positif bagi dunia pendidikan. Salah satu bentuk kompensaasi kenaikan BBM tahap pertama adalah BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Ini adalah inisiatif bagus dari pemerintah, walaupun kebijakan menaikkan harga BBM bukan solusi. Lalu sekarang permasalahan yang perlu kita lakukan adalah melakukan monitoring proses penyaluran BOS. Sebab selama ini, seringkali dana-dana yang dikucurkan pemerintah sering bocor. Jangan sampai dana yang diambilkan dari penderitaan rakyat (sebagai ekses dari kenaikan BBM) tersebut berhenti perut buncit pejabat yang korup.
Program BOS oleh pemerintah ditujukan untuk meningkatkan fasilitas pendidikan yang ada misalnya gedung sekolah dan beberapa sarana penunjang lainnya. Fasilitas pendidikan diakui atau tidak, adalah sarana penting untuk menujang kualitas pendidikan. Dengan sarana infrastruktur pendidikan yang baik, maka akan memberikan kemudahan dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman orang atas suatu bidang pembelajaran. Memang sangat riskan, jika menginginkan proses belajar-mengajar berjalan dengan baik namun tidak ditunjang oleh sarana infrastruktur yang baik pula.
Penyaluran BOS yang pengaturannya diserahkan pada masing-masing daerah diupayakan agar lebih mengena. Untuk mengawasi penyaluran BOS, mulai pendataan hingga penyalurannya telah disiapkan beberapa tim pengawas agar benar-benar mengena dan efisien. Sebelum disalurkan, kiranya setiap sekolah perlu menyerahkan setiap kebutuhan sarana dan prasarananya yang masuh kurang dan benar-benar perlu. Hal ini dimaksudkan agar nantinya dana BOS setelah diberikan tidak digunakan untuk kebutuhan yang sebenarnya kurang perlu. Sebab selama ini, kita sering menghamburkan uang negara untuk kebutuhan yang sebenarnya kurang penting. Sehingga terkesan (walaupun benar) kita adalah bangsa yang senang menghabiskan anggaran. Jika kebutuhan sebuah sekolahan akan sarana fisik seperti gedung telah terpenuhi, maka BOS bisa dialihkan untuk penambahan buku-buku bacaan di perpustakaan untuk peningkatan budaya membaca dan pengetahuan siswa.
Selama ini, pembangunan sering diartikan sebagai sebuah usaha pembuatan sarana fisik semata. Sehingga yang terjadi adalah pembangunan fisik berjalan baik, namun pembangunan mental dan cara berpikir masyarakat cenderung berjalan di tempat. Sehingga usaha memerdekakan masyarakat dari kebodohan selalu gagal. Buktinya, kita masih sering diperdayai oleh bangsa asing dalam banyak hal.
Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul Wawasan Politik menyebutkan bahwa seringkali kita lebih mengedepankan pembangunan sarana fisik dan melupakan pembangunan mental. Untuk itu, pembangunan sarana fisik yang selalu melupakan pembangunan mental dan cara pandang masyarakat sekiranya perlu kita evaluasi. Jika pemerintah sejak dulu jeli, maka kita tidak akan masuk dalam kategori negara miskin. Mental bangsa yang sangat feodalistik dan korup, jelas menghawatirkan dalam sebuah proses character building sebuah bangsa. Sehingga pemerintah baik pusat maupun daerah perlu memikirkan ulang usaha pembangunan sarana fisik yang selalu meninggalkan pembangunan SDM.
Partisipasi masyarakat
Perlu kita sadari, bahwa negara bukan hanya pemerintah saja. Namun rakyat juga adalah faktor terpenting dalam proses kelangsungan sebuah negara. Sebuah negara yang benar-benar negara adalah jika antara pemerintah dan rakyatnya saling bersinergi dalam usaha memikirkan dan memajukan negaranya. Namun sayangnya, di Indonesia partisipasi masyarakat sangat lemah dan kerelaan pemerintah mendengar ide rakyatnya juga kurang. Rakyat selalu hanya menuntut, sedangkan pemerintah seringkali juga tidak mau mendengar aspirasi masyarakat. Sehingga sinergisitas dalam sebuah negara kurang bisa berjalan dengan baik.
Partisipasi masyarakat yang baik dapat dicapai jika kesejahteraan masyarakat juga terpenuhi. Namun sayangnya yang terjadi adalah ketimpangan di masyararakat. Yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin miskin. Hal ini ditambah dengan kecenderungan hidup yang mengelompok. Hal ini bisa kita lihat dalam sebuah pola kehidupan kota. Para pengusaha dan pejabat tinggi pemerintahan tidak mau tinggal berbaur dengan orang miskin. Sehingga ada perumahan orang kaya dan pemukiman khusus untuk orang miskin. Sehingga kesan guyub diantara masyarakat kurang tampak.
Jika melihat fenomena tersebut, jelaslah sangat sulit untuk menumbukan rasa kesetiakawanan sosial di masyarakat yang akhirnya berdampak pada rasa kurang saling percaya dan partisipasi untuk saling mengisi tidak tercapai. Sehingga jika melihat pejabat negara, masyarakat cenderung sinis, sebab banyak yang korupsi.
Kesejahteraan masyarakat untuk mencapai partisipasi aktif masyarakat bisa berhasil jika pemerintah mampu dan mau untuk mensejahterakan rakyatnya. Kesejahteraan bisa dicapai, salah satu jalannya adalah melalui pendidikan. Sedangkan pendidikan itu sendiri diarahkan untuk mengubah pola pikir masyarakat yang bersifat pragmatis. Sebab selama ini masyarakat hanya berfikir untuk memenuhi kebutuhan sekarang saja. Yang perlu ditekankan adalah pembentuk pemikiran masyarakat dalam bertindak juga memikirkan dampaknya untuk sekarang besok dan yang akan datang.
Agar penyaluran BOS lepas dari bayang-bayang korupsi dan penyelewengan, maka pemerintah perlu sekali-kali memberikan hukuman yang berat (hukuman mati) bagi pejabat yang korup untuk mencegah terjadinya korupsi. Sehingga Character building bangsa melalui pendidikan bisa berjalan dengan baik.
Surabaya, 18 Agustus 2005
Dimuat Jawa Pos tanggal 19 Agustus 2005

Punya Uang Bisa Masuk PTN

Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Sejak beberapa tahun terakhir, telah banyak protes menentang pembukaan jalur khusus penerimaan mahasiswa baru di PTN, namun ternyata hal tersebut seakan sia-sia saja. Wacana menentang pembukaan jalur khusus terasa hambar ditelinga. Kapitalisasi pendidikan tetap terjadi. Sebab pihak PTN bersikeras dengan keputusannya membuka jalur khusus, sementara pemerintah melalui Dirjen Dikti tak mampu berbuat banyak dengan fenomena yang sedang terjadi.

Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk merasakan kuliah di PTN. Dengan biaya murah dan kualitas pendidikan yang dianggap lebih baik menjadi sangat menggiurkan setiap orang untuk ikut merasakannya. Namun untuk bisa ikut merasakan kuliah di PTN di masa lalu sangat sulit untuk diwujudkan. Sebab kita harus berdesak-desakan untuk bisa lolos dari seleksi yang dilaksanakan secara nasional. Namun hal tersebut menjadikan persaingan terasa lebih fair, sehingga yang bisa lolos masuk PTN adalah mereka yang memiliki nilai tinggi dalam SPMB. Namun kini SPMB menjadi kurang menarik bagi mereka yang memiliki cukup kekayaan untuk bisa memasuki PTN. Sebab sejumlah PTN telah membuka jalur khusus untuk calon mahasiswa yang jauh lebih mudah untuk bisa lolos, namun dengan syarat bersedia membayar dengan sejumlah uang yang tentu saja sangat berbeda jauh dengan jumlah yang harus dibayar calon mahasiswa yang menempuh jalur SPMB.

Kebijakan sejumlah PTN BHMN (UI, UGM, IPB, ITB) dan beberapa PTN lainnya yang membuka jalur khusus yang mematok harga sangat mahal, mamicu banyak protes dari banyak kalangan khususnya mahasiswa. Mereka menganggap langkah yang diambil sejumlah PTN tersebut akan menurunkan kualitas lulusan perguruan tinggi itu sendiri. Sebab siapa saja bisa masuk asal mampu membayar sejumlah uang yang telah disyaratkan. Tentu saja ini akan mengurangi jatah untuk calon mahasiswa yang menempuh melalui jalur SPMB. Lebih parah lagi, mereka yang dari keluarga miskin semakin kecil kesempatannya untuk bisa kuliah di PTN. Namun protes tersebut sia-sia belaka.
Kapitalisasi pendidikan
Arus kapitalisme global telah menggurita di semua bidang termasuk ranah pendidikan. Dampaknya untuk bidang pendidikan salah satunya adalah munculnya privatisasi pendidikan dengan bentuk PTN BHMN. Hal ini mengakibatkan semakin mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi negeri. Citra PTN lebih murah daripada perguruan tinggi swasta di “era bisnis” sekarang ini makin pudar. (Jawa Pos, 14 Agustus 2004). Mansour Fakih berpendapat bahwa salah satu paham neoliberalisme adalah mengurangi pemborosan dengan memangkas semua anggaran negara yang tidak produktif seperti subsidi pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial.

Dengan semakin sempitnya kesempatan untuk lolos SPMB, orang lebih tertarik untuk menempuh jalur khusus. Sebab kesempatan untuk masuk lebih besar. Orang akan berfikir jika ada jalan yang lebih mudah dan cepat, mengapa memilih jalur yang lebih sulit. Namun sayangnya itu hanya mampu dinikmati kalangan tertentu saja. Di Unair, mahasiswa dari jalur khusus dalam dua tahun terakhir harus membayar munimal 10 juta untuk bidang ilmu-ilmu sosial, sementara untuk kedokteran minimal harus mengeluarkan biaya sebesar 75 juta untuk bisa kuliah di Unair. Sementara di UI tahun lalu menetapkan biaya pangkal yang harus dibayar mahasiswa baru berkisar antara lima juta sampai 25 juta. Di PTN lainnya yang membuka jalur khusus pasti juga tidak jauh berbeda. Jumlah sebesar itu, jelas sangat sulit untuk bisa dijangkau oleh rakyat miskin. Jika ini terus menerus dilakukan, PTN hanya akan menjadi milik orang kaya saja. Keadilan pendidikan perlu kita pertanyakan.

Semenjak dibukanya jalur khusus masuk PTN, semakin membuat kondisi perkuliahan tidak kondusif. Sebab pertambahan jumlah mahasiswa tidak diimbangi dengan jumlah pengajarnya. Sehingga dalam setiap perkuliahan seringkali terjadi kelas besar yang jelas-jelas sangat tidak efektif. Mahasiswa ketika kuliah menjadi lebih gaduh karena jumlah persetra kuliah yang overloud. Hal ini jelas akan sangat berpengaruh dengan kualitas out put atau lulusannya. Mahasiswa baru lebih senang nongkrong daripada berdiskusi.

Anggaran pendidikan
Ketidakmampuan Pemerintah memenuhi anggaran 20 persen untuk pendidikan dari dana APBN juga menjadi salah satu faktor mahalnya biaya pendidikan. Padahal jika kita nalar, kemajuan sebuah negara dimasa datang ditentukan dengan pendidikan yang sekarang ini dijalankan. Pendidikan merupakan salah satu investasi jangka panjang suatu negara. Selain itu, kekayaan alam Indonesia sebenarnya sudah sangat lebih jika hanya untuk membiayai pendidikan. Namun sayangnya kekayaan negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat (pendidikan salah satunya), hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Jika pemerintah ingin meningkatkan mutu sumber daya manusianya, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan bidang pendidikannya. Sebab dengan semakin kompetitifnya persaingan global saat ini, menuntut kita untuk selalu membenahi kualitas pendidikan kita. Pemerintah harus mampu menunjukkan itikat baiknya dalam memberikan kompensasi pendidikan untuk kaum miskin.


Dimuat Jawa Pos Senin, 14 Maret 2005

Wajah Bangsa GILA Gelar

gambar diambil dari www.yusofghani.com
Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Tangisan dunia pendidikan kita seolah semakin keras saja dengan munculnya kasus gelar palsu yang diterbitkan lembaga pendidikan fiktif. Apalagi seperti diberitakan oleh banyak media termasuk Jawa Pos (20-21/08/05), yang mengunakan gelar palsu tersebut adalah para pejabat tinggi negara. Ketika beberapa permasalahan belum usai terselesaikan, kini semakin tercambuk lagi dengan munculnya pencorengan wajah pendidikan yang sangat memalukan. Walaupun isu ini tak jauh beda dengan masalah ijazah palsu yang sempat mencuat sebelum pemilu legislatif 2004 kemarin.

Bangsa yang gila gelar
Ketika kita menengok lebih jauh ke belakang, fenomena gila gelar ini tidak terlepas dari budaya kerajaan di Indonesia. Orang Jawa akan dihormati jika mereka memiliki gelar yang diberikan dari kerajaan. Misalnya orang akan dihormati di dalam kehidupan sosial masyarakat, jika dia menyandang gelar-gelar akan membuatnya disegani di masyarakat. Bahkan seorang raja sendiri yang sudah dipatuhi perintahnya merasa perlu menaikkan gelarnya untuk melegitimasi kekuasaannya. Dalam masa modernitas sekarang inipun, ketika orang ramai memburu gelar dengan berbagai cara juga tak lepas dari keinginan untuk menaikkan prestise diri di hadapan masyarakat.

Orang akan bangga jika memiliki gelar sarjana, doktor bahkan profesor untuk menaikkan posisi tawarnya. Namun dengan sumber finansial yang dimiliki yang tidak diimbangi dengan kemampuan intelektual, maka banyak yang berusaha memotong jalur untuk memudahkan dirinya mendapatkan gelar kesarjanaan atau gelar lainnya dibidang akademik. Hal inilah yang direspons oleh sebagian orang untuk memperdagangkan gelar kesarjanaan. Dengan tanpa kuliah, ujian skripsi, ujian tesis dan disertasi, orang bisa mendapatkan gelar yang diinginkannya. Ini adalah penipuan besar. Padahal jika kita telaah lagi, tidak akan berguna gelar tersebut jika tidak diimbangi dengan kemampuan intelektual dan skill.

Permasalahan yang perlu kita kaji dalam hal ini adalah pertama, watak manusia Indonesia yang masih belum menunjukkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan tanggung jawab. Kedua, yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki. Penggunaan gelar palsu yang dilakukan oleh para pejabat negara adalah sebuah cerminan rendahnya kejujuran dan tanggung jawab. Bisa dibilang, penyelenggaraan negara ini hanya aksi tipu-tipu para pejabat saja. Namun hal ini tidak bisa kita asumsikan bahwa semua pejabat menggunakan gelar palsu, namun penggunaan gelar palsu oleh beberapa pejabat tinggi cukup untuk memberikan image buruk kepada pejabat mengenai sikap kejujuran dan tanggung jawab. Hal itu diperparah lagi dengan skill yang dimiliki sangat rendah. Sehingga orang akan tertawa terpingkal-pingkal jika mengetahui seseorang yang memiliki gelar cukup mentereng namun tidak memiliki kemampuan apa-apa. Seorang bergelar doktor namun kemampuannya tidak lebih baik dari seorang yang bergelar sarjana S1. perlu dicatat lagi, bahwa banyak sarjana kita yang lulusan perguruan tinggi dengan nilai tinggi tak mampu mendapatkan kerja yang layak. Hal tersebut disebabkan karena kemampuan akademis yang tidak diimbangi dengan skill yang mumpuni. Sungguh sangat disayangkan, ketika sudah bersusah payah kuliah selama empat tahun untuk mendapatkan gelar, namun sia-sia saja gelar tersebut. Ini menunjukan bukan gelar yang kita butuhkan, namun intelektuan dan skill yang kita perlukan.

Pernah suatu kali pada pemilu 1999, saya menjumpai seorang yang belum lulus kuliah, namun sudah berani menambahkan gelar sarjana dibelakang namanya dengan tujuan memikat masyarakat untuk memilih dirinya dalam pemilu. Hal ini semakin menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang gila akan gelar.

Esensi pendidikan
Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika kita semua memahami esensi dari pendidikan itu sendiri yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membebaskan diri dari segala bentuk kebodohan. Bukan sekedar selembar ijazah atau hanya menterengnya embel-embel gelar kesarjanaan. Orang tidak butuh gelar untuk menegaskan kemampuan intelektualnya. Namun dengan karya yang mampu dihasilkannya, kemampuannya akan bisa diakui oleh semua orang. Bahkan orang tidak akan merasa perlu sekolah formal jika dia telah merasa mampu membebaskan dirinya dari kebodohan. Dengan menyandang gelar tinggi namun tidak mampu melakukan apa-apa, malah akan menjadi bahan gunjingan dan tertawaan orang, apalagi yang disandang adalah gelar palsu.

Dalam konsepsi Paulo Freire, ketika orang memposisikan dirinya dalam kerangka pikir idealis yang memisahkan antara kesadaran dan kenyatan, maka kesadaran harus didudukan pada kenyataan, walaupun sebenarnya kenyatan dicercap oleh kesadaran. Transformasi kenyataan dilakukan dengan transformasi kesadaran. Jadi hal yang perlu kita tata dalam permasalahan ini ataupun permasalahan lainnya adalah kesadaran kita. Orang harus berfikir secara sadar, jika dia ingin gelar, maka dia harus menempuh pendidikan. Namun secara sadar lagi, orang menempuh pendidikan bukan sekedar untuk mendapatkan gelar, namun untuk mendapatkan ilmu untuk diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat dan demi kesejahteraan masyarakat. Jadi bukan gelar yang perlu kita tunjukkan kepada masyarakat, namun sesuatu pemikiran dan tindakan yang lebih berguna bagi kesejahteraan masyarakat kita.

Sekolah Favorit vs Sekolah Pinggiran


Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Secara filosofis, tujuan pendidikan adalah sebagai upaya pembebasan manusia dari segala penindasan. Penindasan itu dapat berupa kebodohan maupun dari pihak yang memanfaatkan kebodohan seseorang. Negara manapun selalu berupaya menyelenggarakan pendidikan yang terbaik. Akan tetapi dengan adanya segala keterbatasan yang dimilikinya, kekurangan dan kelemahan tetap tidak bisa dihindari. Kelemahan tersebut bisa dari segi sumber daya meterial yang berupa sarana dan prasarana penunjang pendidikan maupun sumberdaya non material yang berupa tenaga pendidik dan anak didik itu sendiri.



Di sisi lain, tujuan pendidikan juga untuk memanusiakan manusia (humanizing). Ini sesuai dengan apa yang diwacanakan oleh Paulo Freire, pendidikan adalah sebuah proses untuk transformasi dan memperoleh pengetahuan (act of knowing) melalui tindakan nyatanya dalam merubah dunia. Ini jelas beda dengan tujuan hidup binatang yang tujuan hidupnya hanya untuk beradaptasi dengan alam, maka tujuan hidup manusia adalah memanusiakan (humanizing) dunia melalui proses transformasi.
****

Setiap tahun ketika dimulainya tahun ajaran baru, orang tua beramai-ramai berusaha untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah unggulan mulai sekolah dasar hingga menengah. Siswa-siswa SD-SMU yang berprestasi dengan nilai kelulusan tinggi pasti ingin melanjutkan ke sekolah jenjang selanjutnya yang berkualitas. Hal ini tidak hanya berlaku pada siswa yang meraih nilai baik, tapi yang mendapatkan nilai pas-pasan pun memiliki keinginan yang sama.

Selanjutnya perguruan tinggi negeri (PTN) yang telah memiliki nama besar juga menjadi incaran calon-calon mahasiswa. Ini sangat wajar, sebab sekolah unggulan dianggap memiliki kelebihan dari pada sekolah-sekolah lainnya (pinggiran). Dengan tenaga pengajar yang berkualitas serta sarana penunjang pendidikan yang cukup lengkap, menjadi daya tarik tersendiri yang nantinya diharapkan mampu menjadikan siswa dapat mengembangkan potensi pendidikannya dengan baik.

Kecuali tingkat perguruan tinggi, sekolah-sekolah unggulan yang ada di Indonesia mulai dasar hingga menengah ternyata memunculkan suatu dilema tersendiri bagi sekolah-sekolah lainnya. Sekolah-sekolah unggulan tentu saja, hampir keseluruhan siswanya adalah mereka yang memiliki kualitas diatas sekolah-sekolah yang lain. Sebab ada seorang calon siswa yang bisa masuk ke sekolah unggulan harus mampu memenuhi syarat standart penilaian akademik yang telah ditatapkan pihak sekolahan. Ini sebenarnya sangat bagus untuk memacu prestasi akademik setiap siswa agar belajar keras agar nantinya mampu memasuki sekolah-sekolah unggulan yang diinginkan.

Sekolah bukan unggulan atau katakanlah sekolah pinggiran bukannya tidak memiliki pelajar yang berkualitas, akan tetapi kualitasnya sangat jauh dengan yang ada di sekolah-sekolah unggulan. Begitu juga tenaga pendidik serta sarana dan prasarana yang dimiliki. Inilah yang memunculkan image di masyarakat, sekolah pinggiran adalah sekolah tertinggal. Dalam hemat saya, sekolah pinggiran yang notabene dikatakan sebagai sekolah tertinggal tersebut harus mendapatkan perhatian yang lebih atau minimal sama dengan sekolah unggulan dari pemerintah. Sebab jika tidak, sekolah pinggiran akan selalu tertinggal.

Berdasarkan pengalaman, ada kecenderungan ketika sekolah pinggiran memiliki beberapa tenaga pendidik yang cukup berkualitas akan menjadi rebutan sekolah-sekolah unggulan. Selain itu, sekolah unggulan terkadang arogan meminta tenaga pendidik yang dianggap berkualitas tadi dari sekolah pinggiran. Sementara sekolah pinggiran sendiri juga tidak ingin kehilangan beberapa tenaga pendidiknya yang dianggap lebih daripada yang lainnya. Namun tetap saja perebutan tersebut seringkali dimenangkan oleh sekolah unggulan yang kadang mampu memberikan sesuatu yang lebih kepada guru tersebut. Jika ini terjadi terus menerus, maka sekolah pinggiran akan tetap selalu tertinggal karena tenaga pendidiknya yang juga selalu pinggiran. Ini tidak saja terjadi untuk guru saja, kepala sekolah juga malah sering terjadi.

Jika pemerintah mau memperhatikan kondisi yang dialami sekolah-sekolah pinggiran, pemerataan kualitas pendidikan bisa tercapai. Secara ideal, hal ini akan berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat juga. Selain itu, melimpahnya sumber daya manusia yang berkualitas karena pemerataan kualitas pendidikan yang ada. Maka potensi sumber daya alam yang ada di Indonesia bisa diolah dan dimanfaatkan oleh manusia Indonesia sendiri. Dengan jumlah penduduk 200 juta lebih dan pemerataan pendidikan maka kita tidak perlu lagi mendatangkan tenaga dari luar. Seperti kita ketahui, tenaga dari luar negeri sangat mahal sekali. Sementara tenaga Indonesia hanya menjadi pekerja bawahan dari tenaga asing. Ini sangat ironis sekali. Kita menjadi kuli di negeri sendiri. Seharusnya SDA yang ada kita olah sendiri dan kita manfaatkan sendiri. Sehingga kemakmuran rakyat bisa tercapai.

Dengan adanya sekolah unggulan yang bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat, maka akan menghasilkan produk pendidikan berkualitas diseluruh lapisan masyarakat. Seperti kata Freire lagi yaitu sistem pendidikan dapat diandaikan sebagai sebuah bank, dimana siswa di beri ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat menghasilkan yang berlipat ganda. Dengan kualitas pendidikan yang merata, maka kualitas masyarakat juga akan meningkat. Sehingga pertumbuhan perekonomian masyarakat juga akan bisa tercapai.


Media dan Eksploitasi Perempuan

Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Merebaknya gerakan gender di Indonesia akhir-akhir mulai menampakkan hasilnya. Terbukti semakin banyak perempuan yang mampu menduduki berbagai posisi strategis untuk mengambil kebijakan di berbagai ranah pekerjaan. Perempuan telah berani ikut bertarung dalam perebutan kekuasaan dalam bidang perpolitikan negara. Namun hal itu seakan hambar begitu saja, sebab ada kekontrasan dengan apa yang digambarkan di berbagai iklan yang ditayangkan di media baik cetak maupun erlektronik. Dominasi perempuan yang dulu dilakukan dengan kekerasan, kini berganti rupa menjadi sebuah hegemoni terhadap perempuan yang berupa eksploitasi keindahan tubuh perempuan.
Peranan perempuan dalam media sekarang ini telah merambah berbagai posisi yang selama in biasa ditempati laki-laki. Produser, sutradara, dan beberapa posisi penting alinnya yang dulu sering menjadi tempat wajib bagi laki-laki kini bukan lagi milik mutlak dari laki-laki. Dalam dunia periklanan, perempuan masih sebatas objek eksploitasi. Perempuan dalam dunia periklanan masih hanya sebatas pemuas. Bahkan sutradara-sutradara iklan perempuan pun ternyata masih memelihara strereotipe tersebut untuk memuaskan konsumen. Jika kita menilik berbagai iklan yang beredar baik di media televisi maupun media cetak, masih menonjolkan keindahan tubuh perempuan. Perempuan yang cantik dan sempurna digambarkan dengan berkulit putih, berambut lurus, rajin merawat tubuh, langsing dan tidak gaptek (gagap teknologi). Ini banyak terjadi dalam iklan-iklan shampo, sabun mandi, kosmetik, dan pembalut wanita. Kita sering melihat iklan kosmetik pemutih kulit. Perempuan yang sebelumnya memiliki kulit putih setelah menggunakan kosmetik tersebut akan tampak putih dan cantik hanya dalam beberapaa hari saja.
Sedangkan untuk iklan obat-obat penguat untuk laki-laki malah lebih eksploitatif lagi. Dalam iklan-iklan tersebut, wanita harus siap melayani laki-laki dan selalu berpenampilan seksi agar bisa memuaskan pasangannya. Tentu saja ini seakan meluluhkan perjuangan gender yang di gelorakan banyak aktivis perempuan selama ini. Ketika mereka siap melakukan upaya pemberontakan tradisi yang patriarkis ternyata dalam sekejap saja citra perempuan yang patriarkis masih selalu dipelihara media.
Kecenderungan selama ini, iklan menempatkan perempuan sebagai model. Memang ini menjadikan iklan sebagai lahan yang subur untuk perempuan. Model iklan ditujukan untuyk memberikan rasa keindahan untuk penonton. Maka dipilihlah sosok perempuan yang tampak sangat sempurna seperti yang telah digambarkan. Kecenderungan seperti ini tidak hanya terjadi di negara kita saja, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat pun masih melakukan hal-hal semacam ini. Perempuan menjadi objek pemuas penonton dalam periklanan.
Perilaku eksploitasi perempuan tidak hanya dilakukan dengan menyuguhkannya dalam iklan. Dalam dunia sinetron dan lawakan pun, perempuan juga sebagai objek ekploitasi. Dalam sinetron, biasanya diperankan perempuan-perempuan cantik dengan berbagai peran. Memang kecenderungan yang ada, penikmat sinetron adalaah perempuan. Gambaran dalam sinetron yang sering kita lihat selama ini adalah seorang remaja perempuan yang hidup sengsara karena kekejaman dari ibu tiri yang sangat tergila-gila dengan harta. Sinetron walaupun sebuah cerita fiktif, namun hal tersebut tetap menggambarkan suatu bentuk kehidupan yang terjadi disekitar kita. Penggambaran profil perempuan yang buruk misalnya perempuan penggoda, remaja perempuan yang menjadi PSK karena broken home, istri yang gila harta, dan mertua yang jahat semakin memberikan citra buruk kepada perempuan di masyarakat. Sedangkan dalam dunia lawak, bintang tamu perempuan cantik biasanya hanya sebagai alat penarik penonton. Perempuan tidak lebih sebagai alan pelengkap dalam media hiburan.
Dalam tayangan musik rakyat seperti dangdut, eksploitasi perempuan dengan berbagai gerakan yang erotis semakin menguatkan budaya yang eksploitatif terhadap perempuan. Tidak heran jika beberapa waktu yang lalu mengundang protes dari masyarakat terhadap media yang bersangkutan. Sehingga menggugah kepedulian pemerintah (Presiden SBY) yang menghimbau agar tayangan musik dangdut, tidak menampilkan pusar perempuan dan goyangan yang erotis. Media massa kebanyakan masih profit oriented, dan yang mendominasi media pada umumnya adalah pemilik, penulis, reporter,editor, dsb, yang semua itu masih didominasi oleh laki-laki.
Citra perempuan (image of women) di media massa (dalam film, iklan) masih memperlihatkan stereotipe yang buruk dan merugikan perempuan. Perempuan masuh digambarkan pasif dan hanya sebagai pemuas saja. Maka citra seperti ini harus dirubah juga oleh media. Ini bisa dilakukan dengan mensosialisasikan masalah kesetaraan gender kepada masyarakat luas yang masih kurang sadar akan kesetaraan gender. Dengan menambah porsi isu perempuan, media memberikan pendidikan kepada masyarakat. Dengan demikian, maka media akan berperan dalam mengasah kepekaan gender di masyarakat.
Dengan mensosialisasikan isu-isu gender kepada masyarakat akan turut membantu upaya demokratisasi dan meningkatkan kampanye secara luas dengan menggunakan program-program pendidikan umum dan swasta untuk memperluasn informasi dan meningkatkan kesadaraan hak-hak perempuan melalui media massa. Kesadaran akan gender akan membantu perempuan keluar dari penindasan yang sekarang ini berupa eksploitasi tubuh di media

Meluruskan Pandangan tentang ‘Wong Samin’


Oleh : Muhammad Imam Subkhi

Ketika kita mendengar istilah ‘samin’ akan tertuju pada sekelompok orang yang memiliki tingkah laku yang nyeleneh dan berkonotasi negatif, terasing dengan segala keterbatasan. Orang menganggap orang samin sebagai orang yang tidak taat aturan. Selain itu, orang menjadi salah kaprah dalam melakukan penilaian dan mendefinisikan tentang kata samin itu sendiri. Seringkali samin disebut sebagai suku atau aliran kebatinan. Namun sebenarnya itu kurang tepat dengan realitas yang ada. Ini tidak lepas dari kesejarahan aliran ini sendiri yang sering disebut dengan ‘saminisme’.

Saminisme adalah sebuah gerakan yang dibawa oleh Raden Kohar yang mengubah namanya menjadi Samin Suro Sentiko. Raden Kohar dilahirkan di daerah Blora, Jawa Tengah pada 1859. Sekitar tahun 1890 Samin Suro Sentiko mulai menyebarkan ajarannya kepada masyarakat di daerah Klopoduwur Blora. Ajarannya ini menarik minat dari masyarakat disekitarnya. Bahkan ajaran saminisme selain berkembang di sekitar Blora sendiri juga berkembang hingga ke daerah Bojonegoro, Pati, Kudus, Rembang, Grobogan, Brebes, Tuban, Ngawi, Lamongan. Namun yang paling pesat mengalami perkembangan adalah di daerah Blora, Bojonegoro, dan Pati.

Saminisme pada waktu itu dapat berkembang dengan pesat karena mengajarkan kesetaraan, kesederhanaan, kebajikan serta selalu mengingat Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari, orang samin memegang tiga ajaran yang bersifat lisan. Ajaran-ajaran tersebut adalah; Pertama, Angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk) berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong”. Orang dilarang untuk berbuat jahat, perang mulut, iri, mencuri. Jika kita nalar, ajaran ini memiliki kesamaan dengan semua ajaran agama yang mengajarkan pemeluknya untuk melakukan segala tindak kebaikan. Memang ini tidak lepas dari tradisi Islam di Jawa sendiri yang sudah melekat pada kultur masyarakat.

Kedua, Angger-angger pengucap (hukum bicara) berbunyi “Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga budhelane ana pitu” Dalam berbicara, orang harus meletakkan pembicaraannya di antara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka ini mungkin hanyalah simbolik belaka. Namun pada dasarnya, setiap orang harus menjaga omongannya dari kata-kata kotor dan menyakiti hati orang lain. Orang harus berbicara dengan baik kepada orang lain.

Ketiga, “angger-angger lakonana” (hukum tentang apa yang harus dikerjakan) berbunyi “ Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni” Orang harus selalu bersabar serta tidak sombong.

Dari ketiga ajaran terrsebut, jika kita bandingkan dengan ajaran agama dan ajaran hidup sehari-hari kita sebenarnya adalah sama. Namun yang dipertanyakan adalah mengapa penilaian orang tentang orang samin selalu berkonotasi negatif. Sehingga orang-orang samin di Pati menyebut dirinya dengan sebutan ‘wong sikep’ yang berarti orang yang memegang teguh ajaran saminisme, sebab kata samin di mata masyarakat berkonotasi buruk. Memang ajaran Samin sebenarnya ditujukan untuk melakukan penentangan terhadap pemerintahan Hindia Belanda.

Dalam Serat Punjer Kawitan yang ditulis Samin Surosentiko, menegaskan bahwa tanah Jawa bukan milik Hindia Belanda, bukan milik penguasa, akan tetapi milik keturunan Pandhawa yaitu keturunan Majapahit. Atau secara luas, tanah Jawa adalah milik Orang Jawa. Maka ketika pemerintahan Hindia Belanda menarik pajak dari warga, Samin Surosentiko menganjurkan untuk menolak pajak tersebut. Sebab kita hidup di tanah warisan leluhur kita sendiri, sehingga pemerintah Hindia Belanda serta para pejabat-pejabat pada tidak berhak menarik pajak dari masyarakat. Selain itu, gerakan saminisme juga sebagai gerakan penolakan terhadap pemerintah yang membatasi masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan.

Gerakan perlawanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh wong samin memang seperti saya katakan nyeleneh, namun pada dasarnya lebih humanis karena tanpa kekerasan. Ini bukan berarti perjuangan melawan penjajah dengan senjata adalah hal yang buruk. Maka ketika ketika para pamong akan menarik pajak, pengikut Samin disarankan untuk berperilaku aneh (nggendeng, nyamin) menyerupai orang gila. Bahkan ketika berhadapan dengan para pamong atau pejabat pemerintahan disarankan tidak perlu hormat. Dengan cara yang aneh tetapi tidak dengan kekerasan inilah yang membuat ajaran ini bisa berkembang. Sebab dengan berperilaku nyamin tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengalami kewalahan dalam memperlakukan pengikut Samin Surosentiko. Lalu untuk menghentikannya, pemerintah Hindia Belanda menangkap Samin Surosentiko beserta beberapa pengikutnya di sekitar Randu Blatung Blora kemudian diasingkan keluar Jawa. Namun gerakan ini tidak begitu saja berhenti, sebab pengikut ajaran ini telah lebih dulu berkembang di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan bertahan sampai perginya Belanda dari Indonesia.

Perilaku aneh seperti orang gila inilah yang membuat image orang samin sampai saat ini masih membekas dalam ingatan masyarakat, sehingga anggapan yang berkembang adalah ‘orang samin adalah orang nyeleneh’. Orang tidak melihat sisi lain dari apa yang telah dilakukan gerakan saminisme. Sebagai sebuah gerakan penentangan pemerintahan kolonial, seharusnya gerakan ini mampu meninggalkan sebuah kesan positif di masyarakat. Namun keadaan yang terjadi adalah sebuah perilaku yang kurang adil terhadap masyarakat samin sendiri. Sehingga perlu ada upaya pelurusan pandangan masyarakat mengenai wong samin.

Saminisme dan New Social Movement

Sejarah perjuangan melawan kolonialisme Belanda dengan senjata telah banyak memakan korban nyawa. Sehingga ketika perlawanan yang dilakukan ternyata selalu mengalami kegagalan, maka diperlukan upaya lain dalam melakukan perlawanan. Samin Surosentiko mencoba perlawanan tanpa kekerasan yang dituangkan dalam bentuk ajaran samin dengan cara berperilaku nyeleneh. Ini bukan sebuah hal yang salah. Ketika upaya perlawanan senjata yang selama ini mengalami kegagalan akhirnya memaksa orang menerapkan cara yang lain. Sementara di tempat yang lain, gerakan perlawanan terhadap poemerintahan kolonial pada masa pergerakan nasional ditandai dengan munculnya berbagai organisasi-organisasi yang bergerak di bidang politik. Kedua gerakan ini sama-sama tanpa kekerasan.

Jika kita tilik lebih jauh, gerakan saminisme bisa kita kategorikan sebagai new social movement. Jean Cohen (1985) merumuskan tujuan gerakan sosial baru adalah untuk menata kembali relasi negara, masyarakat, dan perekonomian dan untuk menciptakan ruang publik di dalamnya wacana demokrasi ihwal otonomi dan kebebasan individual dan kolektivitas dan orientasi mereka, dapat didiskusikan dan diperiksa selalu. Gerakan saminisme tentang yang dilakukannya mungkin bukan sejauh apa yang dimaksudkan oleh Cohen.

Namun salah satu batasan ciri gerakan sosial baru Cohen adalah aktornya menerima keberadaan formal negara, tidak berlaku bagi gerakan saminisme. Sebab sikap pengikut saminisme berpendapat mereka hidup di tanah warisan leluhur, sedangkan pemerinbah Hindia Belanda tidak berhak mengatur kehidupan mereka yang dituangkan dengan penolakan membayar pajak, dan tidak hormat terhadap pejabat pemerintahan.

Sebagai gerakan yang berkembang cukup pesat, saminisme adalah juga sebagi upaya penentangan terhadap perampasan tanah yang akan digunakan untuk perluasan hutan jati. Tanah di sini bisa kita katakan sebagai sebuah identitas yang perlu dipertahankan. Ini seperti gerakan penolakan yang dilakukan oleh Chiko Mendez dan masyarakat di sekitar hutan Amazon terhadap eksploitasi dan pembakaran hutan oleh pihak pemilik modal di Brazil tahun 1980-an yang telah difilmkan dengan judul The Burning Season. Chiko Mendez dan masyarakat sekitar hutan melakukan penolakan penebangan hutan dengan cara berdiri berjejer di tengah jalan yang akan dilewati oleh penebang hutan. Sama dengan tanah milik masyarakat samin, hutan bagi penduduk hutan Amazon adalah sebagai identitas dan penghidupan bagi masyarakat. Maka ketika ada pihak yang berusaha merebut atau merusak identitas dan sumber kehidupan tersebut perlu dilawan.

Gerakan perlawanan masyarakat samin terhadap pemerintah kolonial memang bisa dikatakan berbarengan dengan gerakan nasional yang dipelopori Budi Utomo. Namun gerakan Budi Utomo lebih menasional serta terorganisir dengan baik karena dimotori oleh kalangan intelektual yang cukup modern di jamannya. Sehingga sangat wajar ketika orang lebih melihat gerakan Budi Utomo dan mengesampingkan gerakan perlawanan yang dilakukan masyarakat samin yang cenderung primitif dan nyeleneh. Namun itu bukan menjadi sebuah alasan untuk mengatakan samin itu buruk dan nyeleneh.