Senin, 05 November 2007

Nasib Petani Pasca Impor Beras

Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Semenjak kemerdekaan, industrialisasi semakin berkembang pesat saja. Hal ini adalah bagian dari akibat laju modernisasi yang berkembang di perkotaan. Memang kita sempat memiliki harapan atas prospek revolusi hijau. Sehingga, masyarakatpun mulai beralih meninggalkan sektor pekerjaan agraris melangkah ke industri. Memang pada tahun 1980-an, kita pernah berjaya di sektor pertanian dengan wujud swasembada pangan. Namun prestasi itu semakin menurun seiring semakin tergerusnya lahan pertanian oleh lahan industrialisasi. Sehingga tidak heran jika sekarang ini kita harus mengimpor beras dari negara yang dulu belajar bertani dari Indonesia seperti Vietnam dan Thailand. Padahal negara kita sampai sekarang ini masih digolongkan pada negara yang agraris.
Menjadi negara swasembada pangan di tahun 1980-an seolah masih menjadi sebuah kebanggaan. Namun sekarang ini kebanggaan tersebut telah sirna. Kebanggaan menjadi negara swasembada pangan menjadi sebuah kebangaan semu yang masih dibanggakan. Padahal sekarang ini kondisi pertanian kita sangat memprihatinkan. Kondisi petani yang selalu kesulitan melakukan produksi selalu terulang bertahun-tahun. Diantara kendala yang menjadi kesulitan petani adalah harga pupuk yang semakin membubung tinggi sementara harga hasil pertanian selalu tidak seimbang. Sehingga kondisi petani selalu identik dengan masyarakat yang tertinggal dan tradisional.
Melihat realita diatas, sebenarnya semenjak dulu pemerintah telah diantisipasi dengan menyelenggarakan berbagi terobosan pertanian kita. Diantaranya dengan meningkatkan teknologi pertanian dan perbaikan cara bertani. Ini dilakukan dengan mendirikan IPB (Institut Pertanian Bogor) dan fakultas pertanian di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Hal tersebut dimaksudkan agar Indonesia sebagai negara agraris mampu meningkatkan kualitas dan jumlah produksi pertanian. Namun hal tersebut kurang terasa atau bahkan tidak terasa sama sekali. Sebab selama ini tidak terlihat terobosan yang mampu ditransformasikan kepada masyarakat luas. Sarjana-sarjana pertanian kita hilang entah kemana. Seharusnya dengan semakin bertambahnya sarjana pertanian, maka harus berbanding lurus dengan peningkatan kualitas dan kuantitas hasil pertanian.
Sementara itu, kondisi petani di Indonesia kembali dipukul oleh pemerintah dengan peningkatan impor beras oleh pemerintah. Jelas ini sangat merugikan bagi petani. Untuk meningkatkan kualitas dan kuanitas hasil pertanian, pemerintah seharusnya membuat terobosan yang mampu mengangkat kemakmuran petani. Diantaranya selain melakukan pengaturan harga secara ketat, juga menanamkan jiwa-jiwa yang cinta akan kegiatan dan tradisi agraris kita.
Pengawasan harga ini dimaksudkan agar petani tidak selalu kalah dengan tengkulak yang bebas menentukan harga dan merugikan petani. Sehingga petani kita tidak selalu dalam posisi yang tertindas. Ini bisa kita lihat pada masalah harga gabah. Harga gabah dari petani yang dijual sangat murah kepada tengkulak, kondisinya berbalik dengan harga beras. Seharusnya dengan harga gabah yang murah, maka harga beras juga ikut murah. Dan jika harga beras mahal, maka harga beras juga harus seimbang. Sehingga nasib petani selalu menjadi pihak yang selalu kalah dengan permainan harga para tengkulak. Ironisnya lagi, kondisi petani kita sekarang ini malah kekurangan beras untuk konsumsi sehari-hari. Sehingga dengan alasan ini membuat pemerintah meningkatkan jumlah impor beras tahun ini. Kebijakan ini disatu sisi menolong, namun disisi lain membunuh petani secara langsung.

Urbanisasi dan industrialisasi
Selain itu, hal lain yang melatarbelakangi merosotnya sektor pertanian, hal lain yang ikut berperan ada tiga macam. Pertama, semakin berkurangnya lahan pertanian oleh industri dan permukiman. Hal ini jelas akan mengancam ketahanan pangan nasional. Kedua, persepsi masyarakat mengenai pertani yang dianggap tradisional. Seiring dengan semakin berkembangnya modernisasi, maka segala hal yang dianggap tradidional harus mulai ditinggalkan. Modernisasi secara bersamaan menggerus pertanian dan gaya hidup masyarakat. Kaum muda mulai menjauhi pekerjaan menjadi petani. Mereka lebih memilih menjadi buruh pabrik dan pekerja kasar di kota daripada bertahan menjadi petani yang hanya hidup di desa. Padahal ketika kita memilih menjadi buruh pabrik, kesejahteraan juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh petani. Hanya gaya hidup saja yang akan membedakan yang lebih disebabkan dari pluralitas yang ada di kota dan homogenitas di pedesaan. Masyarakat terjebak dalam hedonisme kehidupan kota. Sehingga menyebabkan terjadinya faktor ketiga yaitu urbanisasi.
Di sisi lain, tergerusnya pekerjaan dan hasil di sektor pertanian oleh industri, juga tidak terlepas dari penciptaan ideologi Barat mengenai paham developmentalisme. Paham ini memang memberi harapan perubahan bagi nasib berjuta masyarakat di dunia ketiga. Namun oleh Mansour Fakih, hal ini tidak lebih dari cermin pemikiran Barat mengenai social change menuju higher modernity. Modernisasi itu sendiri dimaknai sebagai bentuk teknologi dan pertumbuhan ekonomi mengikuti jejak negara-negara industri yang mengacu pada revolusi hijau.
Sementara Revolusi Hijau sendiri yang berasal dari Amerika mencoba memasukkan logika pertumbuhan yang dibawa oleh W.W.Rostow yang bertumpu pada akumulasi modal. Dalam pelaksanaan teknisnya, revolusi hijau dijalankan dengan memasukkan industrialisasi dan modernisasi teknologi pertanian menuju langkah yang kapitalistik. Memang paham teori pertanian secara kapitalis ini sempat coba dibantah oleh teori mikro Chayanov yang mengikuti logika ekonomi kerja keluarga dan alokasi sumber daya dalam keluarga.
Laju urbanisasi membuat lahan pertanian di pedesaan semakin terbengkalai. Sementara industri sendiri mencoba memasuki lahan pertanian yang ada di pedesaan. Sehingga posisi pertanian sekarang ini terjepit dari berbagai sisi, yaitu sisi dalam oleh petani yang meninggalkan lahan pertaniannya dan dari sisi luar oleh industri. Di sisi yang lain, impor beras dan hasil pertanian yang lainnya semakin menjatuhkan hasil pertanian dalam negeri. Akibatnya usaha penyediaan pangan secara mandiri gagal dilakukan. Petani enggan bercocok tanam lagi kurang menguntungkan. Selain itu, kehidupan kota lebih menjanjikan variasi yang menarik petani untuk pindah ke kota. Hal ini sangat berbahaya di saat pertumbuhan penduduk kita semakin cepat, sementara penyediaan pangan kita kurang.
Pengembalian ideologi agraris bisa kita mulai lakukan dengan mulai dengan proses pendidikan sejak dini. Kita masukan dalam kurikulum pendidikan untuk selalu memelihara kultur agraris. Sehingga ada sebuah perimbangan antara industrialisasi dan modernisasi dengan kehidupan agraris. Memang kita sangat sulit untuk dapat kembali pada kultur agraris yang telah kita tinggalkan. Namun minimal kita mulai sadar untuk tidak melupakan sektor penyediaan bahan pangan ini.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Как говорилось на Seexi.net Понимаю, что тема вызавет более смешных коментов, нежели дельных...Но всё же, что сделать что бы они не сползали?
Очки не первые, но именно эти сползают. Очень привлекательные, не хочется сдавать обратно...
п.с. душки завинчены нормально