Oleh: M. Imam Subkhi
Memasuki bulan Ramadhan, penganut agama Islam diwajibkan berpuasa. Selain berpuasa, umat Islam juga dianjurkan untuk melakukan evaluasi diri atas segala dosa yang telah dilakukan baik secara sadar maupun tidak. Karena telah menjadi fitrahnya bahwa manusia adalah tempat salah dan lupa.
Ramadhan adalah bulan suci bagi agama Islam. Pada bulan puasa seperti sekarang ini, biasanya orang berusaha meningkatkan derajat keimanannya serta pengetahuan agamanya. Usaha kearah ini dilakukan dengan menempuh berbagai macam cara. Di sekolah dasar dan menengah diadakan pesantren kilat atau pondok Ramadhan, bagi yang sibuk dengan kerja kantor, mengikuti pengajian Ramadhan setiap pagi setelah subuh atau setelah tarawih, bahkan ada yang mengikuti pengajian di pondok pesantren selama bulan puasa.
Namun ada hal lain yang cukup mengganjal pemikiran saya setiap memasuki bulan Ramadhan. Pada judul diatas, mungkin sama sekali tidak ada kaitan antara Ramadhan dengan lokalisasi pelacuran. Seiring datangnya bulan Ramadhan, banyak kota menerapkan kebijakan baru yang tujuannya untuk menghormati umat Islam dalam menjalankan puasa. Misalkan dengan mengeluarkan kebijakan berupa perda penutupan tempat-tempat hiburan malam seperti bar, karaoke, bilyard dan lokalisasi pelacuran. Berbagai razia dilakukan terhadap objek-objek diatas untuk melaksanakan perda tersebut.
Namun dalam pandangan saya, ini adalah suatu hal yang ganjil.
Secara harfiah, puasa berasal dari bahasa Arab ‘saum’ yang berarti menahan. Lalu kita memaknai puasa sebagai perintah Allah untuk menahan berbagai macam hal yang kita sukai baik yang halal seperti makan, minum dan berhubungan badan di siang hari. Namun kita sering salah mengintepretasi pemaknaan puasa. Ini bisa kita lihat dengan banyaknya tuntutan agar pemerintah mengeluarkan peraturan agar warung-warung makanan menutup kiosnya atau memberikan penutup agar jika ada orang makan tidak dilihat mereka yang berpuasa. Selain itu, tuntutan berbagai kalangan adalah penutupan tempat-tempat hiburan malam dan lokalisasi. Ini jelas sebuah kesalahan menurut saya.
Puasa tidak ada kaitannya dengan warung. Puasa adalah usaha menahan diri untuk tidak makan dan minum di siang hari. Jika ada warung yang buka disiang hari, maka hal tersebut adalah tantangan bagi mereka yang melaksanakan ibadah puasa untuk menahan godaan-godaan puasa tersebut. Kita harus sadar bahwa orang lain tidak wajib menjalankan puasa seperti musafir, wanita yang datang bulan, dan lainnya sampai orang yang non Islam. Disinilah kita perlu tekankan nilai-nilai keislaman dengan menghormati orang lain yang tidak menjalankan puasa.
Kasus penutupan terhadap tempat-tempat hiburan malam menurut saya sangat disayangkan sekali. Padahal di tempat tersebut banyak saudara kita yang mengais nafkah. Terlepas itu halal atau haram. Lalu dengan penutupan tempat-tempat tersebut, apakah puasa seseorang akan khusyuk? Tentu tidak semudah itu jawabannya. Kekhusyukan puasa seseorang tergantung niatan dan daya tahan seseorang tersebut dari berbagai macam godaan yang datang setiap saat. Jika banyak godaan yang datang, orang tersebut mampu menahan diri untuk melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, maka disinilah kualitas puasa tercapai. Lalu pada malam hari apabila lokalisasi, bar, karaoke dan tempat-tempat hiburan lainnya diijikan untuk tetap beroperasi, maka disinilah Tuhan menguji umat Islam yang sedang berusaha melakukan tazkiyatun nafs — penyucian diri.
Dengan tetap beroperasinya tempat-tempat tersebut selain memberikan ujian bagi umat Islam, juga membiarkan orang lain mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya. Terlepas rizki yang diperoleh tersebut halam atau haram. Wacana ini bukanlah manganjurkan orang mencari rizki dengan cara apapun. Akan tetapi, Allah telah memberikan pilihan kepada hambanya untuk menempuh jalannya masing-masing. Dalam pemikiran saya, sangat sayang sekali selama ini sering terjadi tindakan perusakan terhadap tempat-tempat hiburan malam yang tetap beroperasi di bulan puasa oleh sekelompok orang yang ingin menegakkan syariat Islam dan dengan dalih menghormati bulan puasa. Jika yang terjadi demikian, maka dalam kacamata saya, agama pada momen bulan puasa digunakan sebagai alat legitimasi seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan kekerasan. Kiranya perlu kita sadari bahwa puasa memiliki banyak godaan. Yang mampu mengendalikan nafsu kita adalah diri kita sendiri. Kita dituntut oleh Allah untuk bisa mandiri dalam menjalankan syariat. Lalu jika lokalisasi, bar dan tempat lainnya pada bulan puasa dilarang beroperasi, maka dalam menjalankan ibadah kita meminta bantuan kepada orang lain.
Puasa Ramadhan di Indonsia seolah-olah dijadikan alasan untuk memanjakan umat Islam. Egoisitas umat Islam terhadap puasa muncul tiba-tiba. Dengan datangnya puasa, umat Islam meminta pemerintah menutup lokalisasi. Lalu asumsi saya, di luar bulan puasa, pelacuran kita perbolehkan. Kenapa umat Islam tidak mengoreksi dirinya dengan melakukan komparasi terhadap kebijakan pemerintah ketika umat agama lain akan merayakan hari besarnya. Misalkan ketika umat Hindu akan merayakan Nyepi, umat hindu tidak menyalakan lampu selama sehari — pati geni. Lalu mengapa ketika umat Hindu menyambut hari rayanya, pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak menyalakan lampu selama sehari untuk menghormati umat Hondu. Ini jelas tidak adil.
Bulan Ramadhan bisa juga diartikan sebagai bulan yang menumbuhkan egoisme pada umat Islam. Ini jelas bukan nilai-nilai Islam yang dijalankan jika kita menilik pada kasus yang saya tawarkan seperti diatas. Namun usaha pelegitimasian kekerasan dengan dalil jihad fi sabilillah. Maka perdebatan selanjutnya, pemaknaan jihad sendiri dalam konteks keindonesiaan barus bagaimana.
Jihad ada berbagai tingkatan dalam Islam. Pertama, jihad untuk diri sindiri. Disini ditekankan kepada setiap individu untuk mengekang segala hawa nafsu untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain seperti mencuri, korupsi, berzina, dan lain sebagainya. Jihad ini bisa dikatakan tingkatan yang paling berat. Mengingat setiap manusia memiliki keinginan dan ego.
Kedua, jihad untuk agama. Pada tataran ini, individu diwajibkan untuk memerangi orang kafir yang berusaha mengganggu agama kita. Namun sangat disayangkan, kita seringkali memaknai pertikaian agama misalnya kasus Ambon adalah sebuah jihad untuk agama. Memang benar, pertikaian yang terjadi pada waktu itu adalah antara orang Islam dan orang Kristen. Namun seringkali yang melakukan pertikaian tersebut menggunakan legitimasi agama untuk menglalalkan pembantaian terhadap orang Kristen. Yang perlu kita tekankan pertama kali untuk mengatasi permasalahan ini adalah semangat dan solidaritas kemanusiaan. Agama sebagai pemelihara nilai-nilai kemanusiaan yang harus pertama kali dikedepankan, bukan primordialisme agama.
Ketiga, Jihad untuk bangsa dan negara. Agama mewajibkan kepada setiap manusia untuk mempertahankan negaranya yang mengalami ancaman dari negara lain. Dengan adanya ancaman tersebut, dikhawatirkan akan terjadi pemberangusan peradaban suatu negara dan pelenyapan terhadap agama Islam pada suatu negara. Untuk itu, kita perlu mengobarkan semangat jihad untuk membela bangsa dan negara.
Senin, 05 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar