Minggu, 21 Oktober 2007

BOS Rawan Penyelewengan

Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Selain memberikan musibah, kenaikan BBM membawa dampak positif bagi dunia pendidikan. Salah satu bentuk kompensaasi kenaikan BBM tahap pertama adalah BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Ini adalah inisiatif bagus dari pemerintah, walaupun kebijakan menaikkan harga BBM bukan solusi. Lalu sekarang permasalahan yang perlu kita lakukan adalah melakukan monitoring proses penyaluran BOS. Sebab selama ini, seringkali dana-dana yang dikucurkan pemerintah sering bocor. Jangan sampai dana yang diambilkan dari penderitaan rakyat (sebagai ekses dari kenaikan BBM) tersebut berhenti perut buncit pejabat yang korup.
Program BOS oleh pemerintah ditujukan untuk meningkatkan fasilitas pendidikan yang ada misalnya gedung sekolah dan beberapa sarana penunjang lainnya. Fasilitas pendidikan diakui atau tidak, adalah sarana penting untuk menujang kualitas pendidikan. Dengan sarana infrastruktur pendidikan yang baik, maka akan memberikan kemudahan dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman orang atas suatu bidang pembelajaran. Memang sangat riskan, jika menginginkan proses belajar-mengajar berjalan dengan baik namun tidak ditunjang oleh sarana infrastruktur yang baik pula.
Penyaluran BOS yang pengaturannya diserahkan pada masing-masing daerah diupayakan agar lebih mengena. Untuk mengawasi penyaluran BOS, mulai pendataan hingga penyalurannya telah disiapkan beberapa tim pengawas agar benar-benar mengena dan efisien. Sebelum disalurkan, kiranya setiap sekolah perlu menyerahkan setiap kebutuhan sarana dan prasarananya yang masuh kurang dan benar-benar perlu. Hal ini dimaksudkan agar nantinya dana BOS setelah diberikan tidak digunakan untuk kebutuhan yang sebenarnya kurang perlu. Sebab selama ini, kita sering menghamburkan uang negara untuk kebutuhan yang sebenarnya kurang penting. Sehingga terkesan (walaupun benar) kita adalah bangsa yang senang menghabiskan anggaran. Jika kebutuhan sebuah sekolahan akan sarana fisik seperti gedung telah terpenuhi, maka BOS bisa dialihkan untuk penambahan buku-buku bacaan di perpustakaan untuk peningkatan budaya membaca dan pengetahuan siswa.
Selama ini, pembangunan sering diartikan sebagai sebuah usaha pembuatan sarana fisik semata. Sehingga yang terjadi adalah pembangunan fisik berjalan baik, namun pembangunan mental dan cara berpikir masyarakat cenderung berjalan di tempat. Sehingga usaha memerdekakan masyarakat dari kebodohan selalu gagal. Buktinya, kita masih sering diperdayai oleh bangsa asing dalam banyak hal.
Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul Wawasan Politik menyebutkan bahwa seringkali kita lebih mengedepankan pembangunan sarana fisik dan melupakan pembangunan mental. Untuk itu, pembangunan sarana fisik yang selalu melupakan pembangunan mental dan cara pandang masyarakat sekiranya perlu kita evaluasi. Jika pemerintah sejak dulu jeli, maka kita tidak akan masuk dalam kategori negara miskin. Mental bangsa yang sangat feodalistik dan korup, jelas menghawatirkan dalam sebuah proses character building sebuah bangsa. Sehingga pemerintah baik pusat maupun daerah perlu memikirkan ulang usaha pembangunan sarana fisik yang selalu meninggalkan pembangunan SDM.
Partisipasi masyarakat
Perlu kita sadari, bahwa negara bukan hanya pemerintah saja. Namun rakyat juga adalah faktor terpenting dalam proses kelangsungan sebuah negara. Sebuah negara yang benar-benar negara adalah jika antara pemerintah dan rakyatnya saling bersinergi dalam usaha memikirkan dan memajukan negaranya. Namun sayangnya, di Indonesia partisipasi masyarakat sangat lemah dan kerelaan pemerintah mendengar ide rakyatnya juga kurang. Rakyat selalu hanya menuntut, sedangkan pemerintah seringkali juga tidak mau mendengar aspirasi masyarakat. Sehingga sinergisitas dalam sebuah negara kurang bisa berjalan dengan baik.
Partisipasi masyarakat yang baik dapat dicapai jika kesejahteraan masyarakat juga terpenuhi. Namun sayangnya yang terjadi adalah ketimpangan di masyararakat. Yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin miskin. Hal ini ditambah dengan kecenderungan hidup yang mengelompok. Hal ini bisa kita lihat dalam sebuah pola kehidupan kota. Para pengusaha dan pejabat tinggi pemerintahan tidak mau tinggal berbaur dengan orang miskin. Sehingga ada perumahan orang kaya dan pemukiman khusus untuk orang miskin. Sehingga kesan guyub diantara masyarakat kurang tampak.
Jika melihat fenomena tersebut, jelaslah sangat sulit untuk menumbukan rasa kesetiakawanan sosial di masyarakat yang akhirnya berdampak pada rasa kurang saling percaya dan partisipasi untuk saling mengisi tidak tercapai. Sehingga jika melihat pejabat negara, masyarakat cenderung sinis, sebab banyak yang korupsi.
Kesejahteraan masyarakat untuk mencapai partisipasi aktif masyarakat bisa berhasil jika pemerintah mampu dan mau untuk mensejahterakan rakyatnya. Kesejahteraan bisa dicapai, salah satu jalannya adalah melalui pendidikan. Sedangkan pendidikan itu sendiri diarahkan untuk mengubah pola pikir masyarakat yang bersifat pragmatis. Sebab selama ini masyarakat hanya berfikir untuk memenuhi kebutuhan sekarang saja. Yang perlu ditekankan adalah pembentuk pemikiran masyarakat dalam bertindak juga memikirkan dampaknya untuk sekarang besok dan yang akan datang.
Agar penyaluran BOS lepas dari bayang-bayang korupsi dan penyelewengan, maka pemerintah perlu sekali-kali memberikan hukuman yang berat (hukuman mati) bagi pejabat yang korup untuk mencegah terjadinya korupsi. Sehingga Character building bangsa melalui pendidikan bisa berjalan dengan baik.
Surabaya, 18 Agustus 2005
Dimuat Jawa Pos tanggal 19 Agustus 2005

Tidak ada komentar: