Minggu, 21 Oktober 2007

Sekolah Favorit vs Sekolah Pinggiran


Oleh: Muhammad Imam Subkhi

Secara filosofis, tujuan pendidikan adalah sebagai upaya pembebasan manusia dari segala penindasan. Penindasan itu dapat berupa kebodohan maupun dari pihak yang memanfaatkan kebodohan seseorang. Negara manapun selalu berupaya menyelenggarakan pendidikan yang terbaik. Akan tetapi dengan adanya segala keterbatasan yang dimilikinya, kekurangan dan kelemahan tetap tidak bisa dihindari. Kelemahan tersebut bisa dari segi sumber daya meterial yang berupa sarana dan prasarana penunjang pendidikan maupun sumberdaya non material yang berupa tenaga pendidik dan anak didik itu sendiri.



Di sisi lain, tujuan pendidikan juga untuk memanusiakan manusia (humanizing). Ini sesuai dengan apa yang diwacanakan oleh Paulo Freire, pendidikan adalah sebuah proses untuk transformasi dan memperoleh pengetahuan (act of knowing) melalui tindakan nyatanya dalam merubah dunia. Ini jelas beda dengan tujuan hidup binatang yang tujuan hidupnya hanya untuk beradaptasi dengan alam, maka tujuan hidup manusia adalah memanusiakan (humanizing) dunia melalui proses transformasi.
****

Setiap tahun ketika dimulainya tahun ajaran baru, orang tua beramai-ramai berusaha untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah unggulan mulai sekolah dasar hingga menengah. Siswa-siswa SD-SMU yang berprestasi dengan nilai kelulusan tinggi pasti ingin melanjutkan ke sekolah jenjang selanjutnya yang berkualitas. Hal ini tidak hanya berlaku pada siswa yang meraih nilai baik, tapi yang mendapatkan nilai pas-pasan pun memiliki keinginan yang sama.

Selanjutnya perguruan tinggi negeri (PTN) yang telah memiliki nama besar juga menjadi incaran calon-calon mahasiswa. Ini sangat wajar, sebab sekolah unggulan dianggap memiliki kelebihan dari pada sekolah-sekolah lainnya (pinggiran). Dengan tenaga pengajar yang berkualitas serta sarana penunjang pendidikan yang cukup lengkap, menjadi daya tarik tersendiri yang nantinya diharapkan mampu menjadikan siswa dapat mengembangkan potensi pendidikannya dengan baik.

Kecuali tingkat perguruan tinggi, sekolah-sekolah unggulan yang ada di Indonesia mulai dasar hingga menengah ternyata memunculkan suatu dilema tersendiri bagi sekolah-sekolah lainnya. Sekolah-sekolah unggulan tentu saja, hampir keseluruhan siswanya adalah mereka yang memiliki kualitas diatas sekolah-sekolah yang lain. Sebab ada seorang calon siswa yang bisa masuk ke sekolah unggulan harus mampu memenuhi syarat standart penilaian akademik yang telah ditatapkan pihak sekolahan. Ini sebenarnya sangat bagus untuk memacu prestasi akademik setiap siswa agar belajar keras agar nantinya mampu memasuki sekolah-sekolah unggulan yang diinginkan.

Sekolah bukan unggulan atau katakanlah sekolah pinggiran bukannya tidak memiliki pelajar yang berkualitas, akan tetapi kualitasnya sangat jauh dengan yang ada di sekolah-sekolah unggulan. Begitu juga tenaga pendidik serta sarana dan prasarana yang dimiliki. Inilah yang memunculkan image di masyarakat, sekolah pinggiran adalah sekolah tertinggal. Dalam hemat saya, sekolah pinggiran yang notabene dikatakan sebagai sekolah tertinggal tersebut harus mendapatkan perhatian yang lebih atau minimal sama dengan sekolah unggulan dari pemerintah. Sebab jika tidak, sekolah pinggiran akan selalu tertinggal.

Berdasarkan pengalaman, ada kecenderungan ketika sekolah pinggiran memiliki beberapa tenaga pendidik yang cukup berkualitas akan menjadi rebutan sekolah-sekolah unggulan. Selain itu, sekolah unggulan terkadang arogan meminta tenaga pendidik yang dianggap berkualitas tadi dari sekolah pinggiran. Sementara sekolah pinggiran sendiri juga tidak ingin kehilangan beberapa tenaga pendidiknya yang dianggap lebih daripada yang lainnya. Namun tetap saja perebutan tersebut seringkali dimenangkan oleh sekolah unggulan yang kadang mampu memberikan sesuatu yang lebih kepada guru tersebut. Jika ini terjadi terus menerus, maka sekolah pinggiran akan tetap selalu tertinggal karena tenaga pendidiknya yang juga selalu pinggiran. Ini tidak saja terjadi untuk guru saja, kepala sekolah juga malah sering terjadi.

Jika pemerintah mau memperhatikan kondisi yang dialami sekolah-sekolah pinggiran, pemerataan kualitas pendidikan bisa tercapai. Secara ideal, hal ini akan berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat juga. Selain itu, melimpahnya sumber daya manusia yang berkualitas karena pemerataan kualitas pendidikan yang ada. Maka potensi sumber daya alam yang ada di Indonesia bisa diolah dan dimanfaatkan oleh manusia Indonesia sendiri. Dengan jumlah penduduk 200 juta lebih dan pemerataan pendidikan maka kita tidak perlu lagi mendatangkan tenaga dari luar. Seperti kita ketahui, tenaga dari luar negeri sangat mahal sekali. Sementara tenaga Indonesia hanya menjadi pekerja bawahan dari tenaga asing. Ini sangat ironis sekali. Kita menjadi kuli di negeri sendiri. Seharusnya SDA yang ada kita olah sendiri dan kita manfaatkan sendiri. Sehingga kemakmuran rakyat bisa tercapai.

Dengan adanya sekolah unggulan yang bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat, maka akan menghasilkan produk pendidikan berkualitas diseluruh lapisan masyarakat. Seperti kata Freire lagi yaitu sistem pendidikan dapat diandaikan sebagai sebuah bank, dimana siswa di beri ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat menghasilkan yang berlipat ganda. Dengan kualitas pendidikan yang merata, maka kualitas masyarakat juga akan meningkat. Sehingga pertumbuhan perekonomian masyarakat juga akan bisa tercapai.


Tidak ada komentar: