Oleh: Muhammad Imam Subkhi
Tangisan dunia pendidikan kita seolah semakin keras saja dengan munculnya kasus gelar palsu yang diterbitkan lembaga pendidikan fiktif. Apalagi seperti diberitakan oleh banyak media termasuk Jawa Pos (20-21/08/05), yang mengunakan gelar palsu tersebut adalah para pejabat tinggi negara. Ketika beberapa permasalahan belum usai terselesaikan, kini semakin tercambuk lagi dengan munculnya pencorengan wajah pendidikan yang sangat memalukan. Walaupun isu ini tak jauh beda dengan masalah ijazah palsu yang sempat mencuat sebelum pemilu legislatif 2004 kemarin.
Bangsa yang gila gelar
Ketika kita menengok lebih jauh ke belakang, fenomena gila gelar ini tidak terlepas dari budaya kerajaan di Indonesia. Orang Jawa akan dihormati jika mereka memiliki gelar yang diberikan dari kerajaan. Misalnya orang akan dihormati di dalam kehidupan sosial masyarakat, jika dia menyandang gelar-gelar akan membuatnya disegani di masyarakat. Bahkan seorang raja sendiri yang sudah dipatuhi perintahnya merasa perlu menaikkan gelarnya untuk melegitimasi kekuasaannya. Dalam masa modernitas sekarang inipun, ketika orang ramai memburu gelar dengan berbagai cara juga tak lepas dari keinginan untuk menaikkan prestise diri di hadapan masyarakat.
Orang akan bangga jika memiliki gelar sarjana, doktor bahkan profesor untuk menaikkan posisi tawarnya. Namun dengan sumber finansial yang dimiliki yang tidak diimbangi dengan kemampuan intelektual, maka banyak yang berusaha memotong jalur untuk memudahkan dirinya mendapatkan gelar kesarjanaan atau gelar lainnya dibidang akademik. Hal inilah yang direspons oleh sebagian orang untuk memperdagangkan gelar kesarjanaan. Dengan tanpa kuliah, ujian skripsi, ujian tesis dan disertasi, orang bisa mendapatkan gelar yang diinginkannya. Ini adalah penipuan besar. Padahal jika kita telaah lagi, tidak akan berguna gelar tersebut jika tidak diimbangi dengan kemampuan intelektual dan skill.
Permasalahan yang perlu kita kaji dalam hal ini adalah pertama, watak manusia Indonesia yang masih belum menunjukkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan tanggung jawab. Kedua, yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki. Penggunaan gelar palsu yang dilakukan oleh para pejabat negara adalah sebuah cerminan rendahnya kejujuran dan tanggung jawab. Bisa dibilang, penyelenggaraan negara ini hanya aksi tipu-tipu para pejabat saja. Namun hal ini tidak bisa kita asumsikan bahwa semua pejabat menggunakan gelar palsu, namun penggunaan gelar palsu oleh beberapa pejabat tinggi cukup untuk memberikan image buruk kepada pejabat mengenai sikap kejujuran dan tanggung jawab. Hal itu diperparah lagi dengan skill yang dimiliki sangat rendah. Sehingga orang akan tertawa terpingkal-pingkal jika mengetahui seseorang yang memiliki gelar cukup mentereng namun tidak memiliki kemampuan apa-apa. Seorang bergelar doktor namun kemampuannya tidak lebih baik dari seorang yang bergelar sarjana S1. perlu dicatat lagi, bahwa banyak sarjana kita yang lulusan perguruan tinggi dengan nilai tinggi tak mampu mendapatkan kerja yang layak. Hal tersebut disebabkan karena kemampuan akademis yang tidak diimbangi dengan skill yang mumpuni. Sungguh sangat disayangkan, ketika sudah bersusah payah kuliah selama empat tahun untuk mendapatkan gelar, namun sia-sia saja gelar tersebut. Ini menunjukan bukan gelar yang kita butuhkan, namun intelektuan dan skill yang kita perlukan.
Pernah suatu kali pada pemilu 1999, saya menjumpai seorang yang belum lulus kuliah, namun sudah berani menambahkan gelar sarjana dibelakang namanya dengan tujuan memikat masyarakat untuk memilih dirinya dalam pemilu. Hal ini semakin menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang gila akan gelar.
Esensi pendidikan
Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika kita semua memahami esensi dari pendidikan itu sendiri yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membebaskan diri dari segala bentuk kebodohan. Bukan sekedar selembar ijazah atau hanya menterengnya embel-embel gelar kesarjanaan. Orang tidak butuh gelar untuk menegaskan kemampuan intelektualnya. Namun dengan karya yang mampu dihasilkannya, kemampuannya akan bisa diakui oleh semua orang. Bahkan orang tidak akan merasa perlu sekolah formal jika dia telah merasa mampu membebaskan dirinya dari kebodohan. Dengan menyandang gelar tinggi namun tidak mampu melakukan apa-apa, malah akan menjadi bahan gunjingan dan tertawaan orang, apalagi yang disandang adalah gelar palsu.
Dalam konsepsi Paulo Freire, ketika orang memposisikan dirinya dalam kerangka pikir idealis yang memisahkan antara kesadaran dan kenyatan, maka kesadaran harus didudukan pada kenyataan, walaupun sebenarnya kenyatan dicercap oleh kesadaran. Transformasi kenyataan dilakukan dengan transformasi kesadaran. Jadi hal yang perlu kita tata dalam permasalahan ini ataupun permasalahan lainnya adalah kesadaran kita. Orang harus berfikir secara sadar, jika dia ingin gelar, maka dia harus menempuh pendidikan. Namun secara sadar lagi, orang menempuh pendidikan bukan sekedar untuk mendapatkan gelar, namun untuk mendapatkan ilmu untuk diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat dan demi kesejahteraan masyarakat. Jadi bukan gelar yang perlu kita tunjukkan kepada masyarakat, namun sesuatu pemikiran dan tindakan yang lebih berguna bagi kesejahteraan masyarakat kita.
Tangisan dunia pendidikan kita seolah semakin keras saja dengan munculnya kasus gelar palsu yang diterbitkan lembaga pendidikan fiktif. Apalagi seperti diberitakan oleh banyak media termasuk Jawa Pos (20-21/08/05), yang mengunakan gelar palsu tersebut adalah para pejabat tinggi negara. Ketika beberapa permasalahan belum usai terselesaikan, kini semakin tercambuk lagi dengan munculnya pencorengan wajah pendidikan yang sangat memalukan. Walaupun isu ini tak jauh beda dengan masalah ijazah palsu yang sempat mencuat sebelum pemilu legislatif 2004 kemarin.
Bangsa yang gila gelar
Ketika kita menengok lebih jauh ke belakang, fenomena gila gelar ini tidak terlepas dari budaya kerajaan di Indonesia. Orang Jawa akan dihormati jika mereka memiliki gelar yang diberikan dari kerajaan. Misalnya orang akan dihormati di dalam kehidupan sosial masyarakat, jika dia menyandang gelar-gelar akan membuatnya disegani di masyarakat. Bahkan seorang raja sendiri yang sudah dipatuhi perintahnya merasa perlu menaikkan gelarnya untuk melegitimasi kekuasaannya. Dalam masa modernitas sekarang inipun, ketika orang ramai memburu gelar dengan berbagai cara juga tak lepas dari keinginan untuk menaikkan prestise diri di hadapan masyarakat.
Orang akan bangga jika memiliki gelar sarjana, doktor bahkan profesor untuk menaikkan posisi tawarnya. Namun dengan sumber finansial yang dimiliki yang tidak diimbangi dengan kemampuan intelektual, maka banyak yang berusaha memotong jalur untuk memudahkan dirinya mendapatkan gelar kesarjanaan atau gelar lainnya dibidang akademik. Hal inilah yang direspons oleh sebagian orang untuk memperdagangkan gelar kesarjanaan. Dengan tanpa kuliah, ujian skripsi, ujian tesis dan disertasi, orang bisa mendapatkan gelar yang diinginkannya. Ini adalah penipuan besar. Padahal jika kita telaah lagi, tidak akan berguna gelar tersebut jika tidak diimbangi dengan kemampuan intelektual dan skill.
Permasalahan yang perlu kita kaji dalam hal ini adalah pertama, watak manusia Indonesia yang masih belum menunjukkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan tanggung jawab. Kedua, yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki. Penggunaan gelar palsu yang dilakukan oleh para pejabat negara adalah sebuah cerminan rendahnya kejujuran dan tanggung jawab. Bisa dibilang, penyelenggaraan negara ini hanya aksi tipu-tipu para pejabat saja. Namun hal ini tidak bisa kita asumsikan bahwa semua pejabat menggunakan gelar palsu, namun penggunaan gelar palsu oleh beberapa pejabat tinggi cukup untuk memberikan image buruk kepada pejabat mengenai sikap kejujuran dan tanggung jawab. Hal itu diperparah lagi dengan skill yang dimiliki sangat rendah. Sehingga orang akan tertawa terpingkal-pingkal jika mengetahui seseorang yang memiliki gelar cukup mentereng namun tidak memiliki kemampuan apa-apa. Seorang bergelar doktor namun kemampuannya tidak lebih baik dari seorang yang bergelar sarjana S1. perlu dicatat lagi, bahwa banyak sarjana kita yang lulusan perguruan tinggi dengan nilai tinggi tak mampu mendapatkan kerja yang layak. Hal tersebut disebabkan karena kemampuan akademis yang tidak diimbangi dengan skill yang mumpuni. Sungguh sangat disayangkan, ketika sudah bersusah payah kuliah selama empat tahun untuk mendapatkan gelar, namun sia-sia saja gelar tersebut. Ini menunjukan bukan gelar yang kita butuhkan, namun intelektuan dan skill yang kita perlukan.
Pernah suatu kali pada pemilu 1999, saya menjumpai seorang yang belum lulus kuliah, namun sudah berani menambahkan gelar sarjana dibelakang namanya dengan tujuan memikat masyarakat untuk memilih dirinya dalam pemilu. Hal ini semakin menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang gila akan gelar.
Esensi pendidikan
Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika kita semua memahami esensi dari pendidikan itu sendiri yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membebaskan diri dari segala bentuk kebodohan. Bukan sekedar selembar ijazah atau hanya menterengnya embel-embel gelar kesarjanaan. Orang tidak butuh gelar untuk menegaskan kemampuan intelektualnya. Namun dengan karya yang mampu dihasilkannya, kemampuannya akan bisa diakui oleh semua orang. Bahkan orang tidak akan merasa perlu sekolah formal jika dia telah merasa mampu membebaskan dirinya dari kebodohan. Dengan menyandang gelar tinggi namun tidak mampu melakukan apa-apa, malah akan menjadi bahan gunjingan dan tertawaan orang, apalagi yang disandang adalah gelar palsu.
Dalam konsepsi Paulo Freire, ketika orang memposisikan dirinya dalam kerangka pikir idealis yang memisahkan antara kesadaran dan kenyatan, maka kesadaran harus didudukan pada kenyataan, walaupun sebenarnya kenyatan dicercap oleh kesadaran. Transformasi kenyataan dilakukan dengan transformasi kesadaran. Jadi hal yang perlu kita tata dalam permasalahan ini ataupun permasalahan lainnya adalah kesadaran kita. Orang harus berfikir secara sadar, jika dia ingin gelar, maka dia harus menempuh pendidikan. Namun secara sadar lagi, orang menempuh pendidikan bukan sekedar untuk mendapatkan gelar, namun untuk mendapatkan ilmu untuk diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat dan demi kesejahteraan masyarakat. Jadi bukan gelar yang perlu kita tunjukkan kepada masyarakat, namun sesuatu pemikiran dan tindakan yang lebih berguna bagi kesejahteraan masyarakat kita.
1 komentar:
sayang ya.....tulisan ini DIPLAGIAT oleh Padang Express dijadikan editorial tanpa mencantumkan nama penulis sebenarnya.
Posting Komentar