Oleh: Muhammad Imam Subkhi
Tercatat dalam sejarah, sebagai negara agraris hasil pertanian adalah komoditas yang kita banggakan. Namun sayangnya ini hanya pernah terjadi pada negara kita saja. Dan pulau Jawa adalah penghasil padi yang sangat potensial karena sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani yang hidup di pedesaan. Tetapi kenyataannya dalam hampir dasa warsa terakhir, impor beras selalu mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini jelas sangat kontras dengan predikat kita sebagai negara agraris. Peningkatan ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu keterlambatan panen sebagai akibat dari panjangnya musim kemarau dan bencana banjir. Sehingga kita sering terancam kekurangan pangan khususnya beras.
Memang masalah ketahanan pangan (food security) telah menjadi isu sentral yang menasional. Bahkan isu ini wajib menjadi pokok pembangunan bidang pertanian dan pembangunan nasional. Badan pangan dunia FAO menginterpretasikan food scurity sebagai kemampuan untuk menjamin tersedianya pangan bagi seluruh penduduk sepanjang tahun dengan harga terjangkau untuk dapat hidup sehat dan aktif.
Masalah food security tidak bisa kita lepaskan dari komoditas beras. Sebab komoditas ini menjadi bahan pangan pokok bagi hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Sehingga setiap harga komoditas ini melonjak atau sedang langka, banyak daerah termasuk di Jawa Timur melakukan Operasi Pasar. Namun ternyata hal inipun tak banyak menjawab permasalahan kelangkaan dan mahalnya beras di masyarakat. Sebab seringkali bocor kepada tengkulak. Jelas ini sangat disayangkan. Andai kita mau menyalahkan, tidak sepatutnya ini kita salahkan kepada pemerintah saja. Namun kita seharusnya bisa menggali tradisi pertanian masa lalu kita yang pernah kita tinggalkan. Pada masa lampau kita mengenal adanya lumbung padi di desa-desa untuk sistem pertahanan pangan lingkungan. Petani tidak menjual secara keseluruhan hasil panen padinya kepada pembeli atau tengkulak. Petani seharusnya bisa mengkalkulasi kebutuhan pangannya selama satu musim tanam dengan hasil tanamnya. Berapa dia bisa sisakan untuk cadangan kebutuhan pangan baik untuk keluarga maupun lingkungannya. Sehingga tidak seperti sekarang ini dimana masyarakat pedesaan yang mayoritas bekerja sebagai petani malah membeli beras karena kekurangan stok beras.
Berkaca dari pengalaman, dengan telah kita tinggalkannya tradisi lumbung padi atau lumbung tani ternyata kita sering diguncang masalah kelangkaan pangan. Bahkan sekarang ini, petani yang menghasilkan padi malah membeli beras. Jelas ini sebuah keadaan yang aneh namun benar-benar terjadi. Kita terbuai dengan telah adanya pasar tanpa mengkalkulasi fluktuasi pasar. Padahal dalam hukum pasar, jika permintaan naik maka penawaran akan cenderung turun. Ini mengakibatkan melonjaknya harga komoditas yang sedang dicari. Begitu juga dengan harga beras dimana banyak permintaan, maka harga yang ditawarkan akan semakin melonjak.
Dengan adanya lumbung padi di desa-desa, paling tidak akan menimbulkan efek positif yang dapat dirasakan oleh petani. Pertama, lumbung padi sebagai media food scurity yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan pangan di desa. Sehingga masyarakat petani tidak perlu membeli beras yang rata-rata adalah beras impor. Selain itu, jatah raskin juga tidak perlu sampai ke desa-desa karena stok beras di desa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Kedua, dengan telah terpenuhinya kebutuhan pangan di desa, masyarakat desa akan dapat memikirkan hal yang lain untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Misalnya menggalakkkan peternakan sebagai penopang penguatan perekonomian desa. Atau melakukan kegiatan perekonomian lain sebagai sampingan selain kegiatan pertanian. Ketiga, dengan adanya lumbung padi, bisa digunakan sebagai sarana untuk melawan tengkulak yang ternyata malah seringkali merugikan masyarakat. Setiap musim panen walaupun pemerintah telah menetapkan harga padi, namun kenyataannya petani tetap tidak berdaya menghadapi para tengkulak. Petani harus tetap mengikuti harga yang ditetapkan para tengkulak yang rata-rata lebih trendah dari harga yang telah ditetapkan pemerintah. Lalu ketika hasil panen padi masyarakat petani desa telah jatuh ketangan tengkulak, mengakibatkan menipisnya stok pangan khususnya beras di desa. Sehingga masyarakat desa harus menggantungkan kebutuhan pangannya pada kucuran jatah raskin yang kualitasnya perlu dipertanyakan.
Jika keberadaan lumbung padi bisa direalisasikan, setelah kebutuhan pangan (beras) di desa telah dipenuhi, maka petani tinggal menghitung jumlah hasil panen dikurangi kebutuhan pangan selama satu musim tanam atau satu tahun. Lalu hasil panen setelah dikurangi kebutuhan pangan tersebut misalnya lebih, maka kelebihannya tersebut bisa dijual dan didistribusikan untuk kebutuhan masyarakat perkotaan yang rata-rata bekerja di perdagangan dan industri. Sehingga jika terjadi kelangkaan pangan atau melonjaknya harga beras dari jangkauan daya beli masyarakat, imbas negatifnya tidak perlu dirasakan oleh masyarakat desa dan kota. Sebab wilayah pedesaan tidak perlu lagi membeli beras. Sehingga jatah raskin hanya perlu didistribusikan kepada masyarakat perkotaan.
Jika di pedesaaan sekarang ini mampu digalakkan lagi lumbung padi sebagai konsep ketahanan pangan, maka paling tidak akan semakin meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya. Di sisi lain, keuntungan yang bisa diperoleh pemerintah adalah dapat menekan impor beras. Sehingga dengan semakin kecilnya impor beras, petani bisa mempertahankan harga.padi. Kebijakan impor beras secara terus-menerus akan menimbulkan dampak semakin melonjaknya harga beras di pasaran dunia dan menghancurkan harga beras hasil panen petani. Sebab 80 persen perdagangan beras dunia dikuasai oleh enam negara yaitu Thailand, USA, Vietnam, Pakistan, China dan Myanmar (Suryana, et al., 2001). Sehingga sistem perdagangan beras di dunia akan ditentukan kekuatan oligopolis. Selain itu, berkaca dari jumlah beras yang di impor oleh suatu negara, maka akan sangat mempengaruhi pandangan dunia mengenai kemampuan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.